Sabtu, 29 Oktober 2016

UU.NO.38 Tahun 1999 Tentang HAM



UU.NO.38 Tahun 1999 Tentang HAM

A.    PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hak Asasai Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara, dan dalam hubungan antara sesama warga negara.
HAM merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan yang diperoleh manusia dari Tuhan YME  dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. HAM tidak dapat digganggu gugat oleh siapapun karena HAM bersifat kodrati dan berlaku sepanjang hidup manusia.
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa. Wacana awal HAM di Eropa yang dimulai dengan lahirnya Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 1215. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan dua peristiwa dalam sejarah dunia yang menghasilkan rumusan yang mirip dengan rumusan hak-hak asasi manusia yaitu Revolusi Amerika yang dimulai pada tahun 1776 dan Revolusi Perancis pada tahun 1789. Sejarah besar perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan perumusan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dikukukan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948.
Di Indonesia, HAM bersumber dan bermuara pada pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan Hak Asasi Manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak tidak memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atau dengan kata lain dapat menimbulkan kasus-kasus pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM bisa saja terjadi di berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendididikan.
Berangkat dari pernyataan tersebut, makalah ini akan membahas masalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia pendidikan Indonesia. Pembahasan tersebut terkait dengan pengertian dan jenis HAM, landasan hukum penegakan HAM di Indonesia, analisis kasus pelanggaran HAM di dunia pendidikan Indonesia, serta upaya penegakan HAM di dunia pendidikan Indonesia.
1.2   Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian dan jenis Hak Asasi Manusia (HAM) ?
2.     Apa landasan hukum penegakan HAM di Indonesia ?
3.     Bagaimana analisa kasus pelanggaran HAM di dunia pendidikan Indonesia?
4.     Bagaimana upaya penegakan HAM di dunia pendidikan Indonesia ?

1.2   Tujuan
1.     Untuk mengetahui pengertian dan jenis Hak Asasi Manusia (HAM).
2.     Untuk mengetahui landasan hukum penegakan HAM di Indonesia.
3.     Untuk mengetahui analisa kasus pelanggaran HAM di dunia pendidikan Indonesia. 
B.    Pembahasan
2.1  Pengertian dan Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut sebagai human right, dan dipahami banyak orang secara keliru. HAM hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, HAM lebih luas daripada kebebasan atau kebebasan itu hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik HAM lebih mudah dipahami daripada dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan sebagai hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan tanpa hak dasar itu manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai manusia. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1 ayat (1), HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka HAM tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. HAM diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Dalam pelaksanaanya, Hak Asasi Manusia (HAM) dibagi atas berbagai jenis. Berikut ini pembagian jenis Hak Asasi Manusia dunia, diantaranya:
1.     Hak asasi pribadi / Personal Right
·         Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
·         Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
·         Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
·         Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing

2.     Hak asasi politik / Political Right
·         Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
·         Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
·         Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
·         Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3.     Hak azasi hukum / Legal Equality Right
·         Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
·         Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
·         Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum


4.     Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
·         Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
·         Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
·         Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
·         Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
·         Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5.     Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
·         Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
·         Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6.     Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
·         Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
·         Hak mendapatkan pengajaran
·         Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

2.2  Landasan Hukum Penegakan HAM di Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan dan oleh sebab itu bersifat universal. Sekalipun HAM bersifat universal, tetapi pemahaman setiap orang tentang HAM tersebut berbeda-beda. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh sistem filsafat, ideologi, dan yuridis konstitusional yang berlaku di dalam suatu negara.
Cara pandang HAM di Indonesia tercermin dalam landasan hukum penegakanya, yaitu:
a.      Landasan Idiil
Landasan idiil merupakan landasan filosofis dan moral bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa memberikan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).  Landasan Idiil HAM di Indonesia adalah Pancasila sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
b.      Landasan Konstitusional
UUD 1945 menjadi landasan konstitusional bagi bangsa dan Negara Indonesia dalam memberikan penghormatan , pengakuan, perlindungan, serta pengakuan HAM di Indonesia. Landasan konstitusional (UUD 1945) yakni:
·         Pembukaan UUD 1945 alenia ke-1 dan ke-4
·         Pasal 27, pasal 28, pasal 28 A sampai pasal 28 J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32,  pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945









c.    Landasan Operasional
Landasan operasional adalah landasan pelaksanaan bagi penegakan HAM di Indonesia yang meliputi aturan-aturan pelaksana seperti undang-undang (UU) dan TAP MPR. Pelaksanaan UU diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres), dan peraturan daerah (Perda). Ketentuan peraturan perundangan tentang HAM sebagai implementasi dari UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.     Ketetapan MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2.     Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai pengahapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
3.     Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4.     Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
5.     Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Kemanusiaan.
6.     Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum .
7.     Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
8.     Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
9.     Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa sebagai dasar ratifikasi Konvensi ILO 105 tahun 1957
10.  Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan sebagai dasar ratifikasi Konvensi ILO nomor 111 tahun 1958.
11.  Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja sebagai Dasar untuk Ratifikasi Konvensi ILO nomor 138 tahun 1973.
12.  Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarang dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak sebagai Dasar Ratifikasi Konvensi ILO 182 tahun 1999.
13.  Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 rentang Perlindungan Anak.
14.  Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
15.  Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.Di samping ketentuan Undang-Undang seperti tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan dalam bentuk Keputusan Presiden maupun Instruksi Presiden. Berbagai aturan tersebut adalah sebagai berikut.
16.  Keputusan Presiden RI Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
17.  Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-Hak Anak.
18.  Keputusan Presiden RI Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
19.  Keputusan Presiden RI Nomor 129 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
20.  Instruksi Presiden RI Nomor 26 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
21.  Keputusan Presiden RI Nomor 83 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi sebagai Dasar untuk meratifikasi Konvensi ILO nomor 87 tahun 1948.
22.  Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja sebagai dasar Ratifikasi Konvensi ILO nomor 88 tahun 1948.
2.3  Analisis Kasus Pelanggaran HAM di Dunia Pendidikan Indonesia
2.3.1  Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, masalah terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih banyak terjadi di berbagai bidang kehidupan. Pelanggaran itu tidak hanya menyangkut hak pribadi seorang warga Negara, bahkan ada pelanggaran yang menyangkut hak sebuah kelompok yang dirampas oleh kelompok lain. Berbagai jenis pelanggaran HAM di atas pernah terjadi di Indonesia. Pelanggaran hak asai manusia dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni : (1) pelanggaran HAM berat dan (2) pelanggaran HAM  ringan. Berikut adalah beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia dan belum tersentuh oleh proses hukum.
Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum
No
Nama Kasus
Tahun
Jumlah Korban
Keterangan
1
Pembantaian massal 1965
1965-1970
1.500.000
Korban sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar proses hukum yang sah
2
Penembakan misterius “Petrus”
1982-1985
1.678
Korban sebagian besar merupakan tokoh kriminal, residivis, atau mantan kriminal. Operasi militer ini bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas
3
Kasus di Timor Timur pra Referendum
1974-1999
Ratusan ribu
Dimulai dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
4
Kasus-kasus di Aceh pra DOM
1976-1989
Ribuan
Semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
5
Kasus-kasus di Papua
1966-…..
Ribuan
Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam, antara perusahaan tambang internasional, aparat negara, berhadapan dengan penduduk local
6
Kasus Dukun Santet Banyuwangi
1998
puluhan
Adanya pembantaian terhadap tokoh masyarakat yang dituduh dukun santet.
Sumber :  Monitoring KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Tidak hanya kasus di atas saja yang berlalu tanpa adanya proses hukum, beberapa kasus pelanggaran HAM ringan pun ada yang belum ditangani secara serius berdasarkan proses hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM ringan itu diantaranya kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, kasus perdanggangan wanita dan anak di bawah umur, kasus pemerolehan pendidikan yang layak, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM ringan lainnya.
Kasus pelanggaran HAM baik berat maupun ringan tidak bisa dihindarkan dalam berbagai bidang kehidupan, temasuk di bidang pendidikan. Salah satu contoh kasus HAM ringan yang terjadi di dunia pendidikan yang begitu kontroversial adalah kasus yang terjadi si sebuah SMA di Pangkal Pinang tahun 2010 lalu. Kasus tersebut bermula dari pernyataan empat siswa SMA Pangkal Pinang, Kepulauan Riau di jejaring sosialfacebook mengenai pihak sekolahnya. Pernyataan keempat siswa tersebut akhirnya berujung dengan dijatuhkanyan sanksi terberat yaitu pemulangan kembali keempat siswa tersebut kepada orang tuanya. Hal ini terjadi karena pihak sekolah merasa nama baik instansi mereka telah tercemar akibat pernyataan keempat siswa tadi.


2.3.2  Analisis Kasus Pelanggaran HAM di Dunia Pendidikan
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Indonesia, memungkinkan penyelesaian dan penegakan HAM secara adil bagi semua pihak. Banyak diantara kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi masih menimbulkan permasalahan di kemudian hari bagi kedua belah pihak. Hal ini terjadi semata-mata karena pengadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi masih dirasa berat sebelah atau hanya mementingkan kepentingan salah satu pihak saja. Pada dasarnya, kasus-kasus pelanggaran HAM seyogyanya diselesaikan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yaitu pihak yang terlanggar HAMnya dan pihak yang melanggar HAM. Walau dirasa sulit, akan tetapi proses penegakan HAM yang adil harus terus diupayakan. Dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak yang terkait kasus dan berdasarkan landasan hukum yang konkret, maka penegakan HAM bisa diupayakan dengan seadil-adilnya.
Kasus HAM yang terjadi  dalam dunia pendidikan yang melibatkan empat siswa SMA Pangkal Pinang, Kepulauan Riau adalah salah satu contoh kasus penegakan HAM yang dirasa masih belum memberikan keadilan bagi kedua belah pihak. Bagaimana tidak, akibat pernyataan keempat siswa tersebut di jejaring socialfacebook akhirnya mereka harus dikeluarkan dari sekolah. Mungkin sudah kelewatan jika empat siswa SMA Tanjung Pinang tersebut menghina pihak sekolahnya di facebook yang bisa saja dibaja oleh semua orang. Akan tetapi, apakah mereka pantas di keluarkan dari sekolah? Tidakkah hukuman itu terlalu berat? Apakah kepala sekolah dan dewan guru tidak memiliki kebijakan lain?
Jika di telaah lebih dalam, keputusan sekolah untuk mengeluarkan keempat siswa SMA Tanjung Pinang dari sekolah secara tidak langsung telah melanggar hak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Bukankah dalam UUD 1945 sebagai landasan konstitusional penegakan HAM di Indonesia telah ada jaminan mengenai hak pendidikan seperti yang tertuang dalam pasal 31 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selain itu akses rakyat terhadap pendidikan juga telah dituangkan dalam pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan:
1.     Setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2.     Warga Negara yang memiliki fisik , emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3.     Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan khusus.
4.     Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5.     Warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.



Dari pernyataan diatas, jelas bahwa hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan telah dijamin oleh konstitusi. Penegakan HAM sudah sepantasnya menjadi tanggungjawab seluruh lapisan masyarakat, termasuk juga insan pendidikan. Keputusan pihak sekolah untuk mengeluarkan empat siswa SMA Tanjung Pinang dari sekolah kerena membuat pernyataaan “tak sepantasnya” mengenai pihak sekolah di facebook dirasa masih kurang tepat. Keputusan tersebut bisa saja menimbulkan polemik baru dikemudian hari bagi keempat siswa. Kita tahu bahwa keputusan untuk memberikan sanksi mengeluarkan siswa dari sekolah merupakan keputusan yang di buat karena adanya pelanggaran berat oleh siswa. Bukan tidak mungkin nantinya setelah siswa di keluarkan dari sekolah, mereka justru kesulitan untuk mendapatkan sekolah lain. Berdasarkan hal tersebut, keputusan sekolah untuk mengeluarkan keempat siswanya dari sekolah secara tidak langsung menghalang-halangi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.
Sudah sepantasnya pengadilan atas pelanggaran HAM dilakukan dengan seadil-adilnya. Dari persoalan diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM hanya mementingkan kepentingan satu pihak saja. Dimana pihak tersebut adalah pihak yang dilanggar HAMnya, dalam kaitanya dengan kasus tersebut adalah pihak sekolah. Pihak sekolah merasa nama baik instansi sekolah menjadi tercemar akibat pernyataan keempat siswa SMA Pangkal Pinang tersebut. Akan tetapi disini sekolah justru membuat keputusan yang menimbulkan pelanggran HAM lainya, yaitu pelanggaran HAM atas pendidikan keempat siswa tersebut. Jadi, keputusan untuk mengeluarkan sanksi terberat terhadap keempat siswa tersebut bisa lebih dipertimbangkan lagi, mengingat kasus ini juga merupakan kasus internal sekolah. Seyogyanya sekolah dapat memberikan sanksi yang lebih edukatif  terhadap siswa. Selain dapat menimbulkan efek jera, sanksi tersebut juga dapat memberikan pendidikan kepada siswa tanpa menimbulkan polemik baru di kemudian hari.
2.4  Upaya Penegakan HAM di Dunia Pendidikan Indonesia
Pentingnya pendidikan selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk memajukan Hak Asasi Mnusia di Indonesia, pendidikan juga menjadi alat penting untuk memajukan pengetahuan, serta harkat dan martabat bangsa Indonesia. Selain pendidikan sebagai suatu hak yang diberikan berdasarkan konstitusi, pendidikan juga menjadi suatu kewajiban yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Pendidikan merupakan hak konstitusional, yang dijamin implementasinya secara nasional berdasarkan konstitusi. Di Indonesia hak ini diakui dan dijamin di dalam UUD 1945. Tanggung jawab negara di dalam pendidikan dituangkan di dalam pasal-pasal dalam UUD 1945, dan sasaran pendidikan secara konkret adalah “….mencerdaskan kehidupan bangsa….” Sebagaimana yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.
Berangkat dari hal tersebut, sudah sepantasnya seluruh warga negara Indonesia mengupayakan kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal sentral yang perlu diperhatikan adalah upaya memajukan pendidikan sangat erat kaitanya dengan pemenuhan hak atas pendidikan. Kasus yang terjadi di Pangkal Pinang sekitar tahun 2010 lalu telah mengingatkan kita tentang bagaimana hak atas pendidikan ini dipandang sebelah mata. Keputusan sekolah unuk mengeluarkan keempat siswa yang membuat pernyataan “tak sepantasnya” di facebook dirasa terlalu berlebihan sehingga menghalang-halangi mereka untuk memperoleh hak atas pendidikan mereka.
Kasus keempat siswa SMA Pangkal Pinang tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih edukatif. Pemberian sanksi untuk mengeluarkan siswa hanya akan membuat hak keempat siswa tersebut untuk mendapatkan pendidikan menjadi terhalangi. Pihak sekolah bisa saja menyelesaikan kasus tersebut dengan cara mediasi antara kedua belah pihak, dalam kaitanya dengan kasus ini adalah keempat siswa SMA Pangkal Pinang dan juga pihak sekolah yang merasa nama baiknya tercemar. Bila perlu sekolah merangkul Dinas Pendidikan daerah setempat unutuk menjadi mediator atas kasus tersebut. Dengan begitu mungkin kasus tersebut bisa diselesaikan dengan lebih adil lagi bagi kedua belah pihak. Melalui mediasi, keempat siswa yang bersangkutan dengan kasus tersebut dapat meminta maaf langsung kepada pihak yang bersangkutan serta manjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya. Sementara pihak sekolah yang bersangkutan diharapkan dapat berbesar hati untuk memaafkan keempat siswa tersebut. Dengan mediasi tersebut, sekolah juga dapat mempertimbangkan keputusan sanksi yang seadil-adilnya terhadap keempat siswa tersebut. Sanksi tidak harus berupa sanksi terberat yaitu mengeluarkan siswa dari sekolah. Namun untuk membuat efek jera dan agar tindakan tersebut tidak ditiru oleh siswa yang lain sanksi dapat berupa pemberian skorsing terhadap siswa. Perlu juga diingat pemberian skorsing juga tidak bisa seenaknya saja, perlu ada pertimbangan yang matang atas pemberian lama skorsing terhadap siswa. Pemeberian sanksi tersebut akan terlihat lebih edukatif bagi siswa dan tentunya nama baik instansi sekolah juga akan tetap terjaga.















UU NO.26 Tahun 2000 TENTANG PENGADIALAN HAM
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


       Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika masyarakat karena politik hukum diarahkan kepada ius constituendum, hukum yang seharusnya berlaku. Dalam konsep demokrasi, dengan memperhatikan dinamika masyarakat yang berkembang sejauh ini, beberapa hal mengharuskan penegakan HAM sebagai akibat dari perkembangan politik hukum yang terjadi, karena disanalah menjadi nilai penting sebagai salah satu penghargaan atas entitas manusia secara individual. HAM menjadi masalah yang cukup krusial dengan mempertimbangkan kecenderungan ancaman konflik dan kekerasan, yang didalam demokrasi selalu mengedepankan aspek itu. Namun, masalah HAM barangkali, kendatipun ada elemen muncul dari nilai yang diyakini sejauh ini relatif beririsan. Bisa seiring, tapi bisa pula bertubrukan. Permasalahan HAM ini menjadi permasalahan penting dalam politik hukum suatu negara.
       Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka penafsiran terhadap teks hukum tidak dapat dihindarkan. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa ruang bagi penafsiran. Teks-teks itu ditafsirkan oleh karena ia merupakan “a finitive-closed scheme of permessible justification”, sedang alam dan kehidupan sosial itu bukan suatu “scheme” yang “finite closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Saat ini tengah berkembang bahwa hukum harus dilihat sebagai bangunan rasional, yang memiliki metode rasional pula bagi upaya untuk mengembangkannya. Beberapa tokoh positivisme hukum seperti Hans Kelsen, John Austin, Lon Fuller, Hart, Ronald Dworkin dan banyak lagi lainnya, mencoba membuat kerangka bangunan hukum yang serba tertib, teratur dan formal, dan struktur ilmu pun menjadi kaku dan bersifat positif-legalistik. Pandangan ini telah berkembang luar biasa masif, menghegemoni banyak pemikir hukum dan berakhir pada klaim absoluditas penjelasan yang dapat diterima. Realitas hukum termarjinalisasi dan pencarian kebenaran alternatif menjadi terhambat.
       Fenomena tersebut diatas ternyata juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999. Kasus Timor Timur bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 5 Mei 1999 Pemerintah RI melakukan perjanjian dengan Portugal di New York di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. Dalam Pasal 3 Perjanjian New York dinyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia akan bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Timur agar penentuan pendapat dapat dilaksanakan secara adil dan damai dalam suasana yang bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan dari pihak manapun”.
       Hasil jajak pendapat menunjukkan sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat, terjadi sejumlah tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun terjadinya kerusakan dalam skala besar terhadap rumah-rumah penduduk serta harta benda lainnya, bahkan terjadi pemindahan penduduk secara meluas. Berdasarkan hal-hal tersebut diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM dan pelanggaran hukum humaniter. Menyikapi kekerasan yang terjadi di Timor Timur, pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 yang mengutuk tindak kekerasan yang terjadi di Timor Timur dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Tak hanya itu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur.Special session tersebut menghasilkan Resolusi Nomor 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah Indonesia, antara lain dalam kerja sama dengan Komnas HAM menjamin orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap HAM akan diadili. Kemudian Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan masa kerja terhitung sejak 23 September 1999 hingga akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000.
       Dalam laporan yang disusun di Jakarta pada tanggal 31 Januari 2000, KPP-HAM menyatakan telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM, yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup, hak atas integritas fisik, hak atas kebebasan, hak akan kebebasan bergerak dan bermukim serta hak milik. Pada bagian kesimpulan, KPP-HAM menyatakan telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat telah terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada hukum nasional dan internasional, padahal pada saat itu Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia maupun pengadilan hak asasi manusia. Bahwa kemudian Pemerintah Indonesia menyusun dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 November 2000.
       Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM dan berada di lingkungan Peradilan Umum. Pembentukan Pengadilan HAM tersebut pada awalnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pengadilan HAM, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham ad hoc, dengan kata lain baik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diberlakukan secara ex post facto.  Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum dalam pendiriannya. Adanya kemauan pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan..
       Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan di bidang HAM tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah Peradilan HAM., dalam kerangka membangun hukum Indonesia yang progresif darirule of law menuju rule of social justice. Lalu bagaimanakah pembentukan pengadilan HAM di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu proses politik hukum?

MEKANISME PROSES PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA TERKAIT KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI TIMOR TIMUR

Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM.
       Orde Baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku Negara dan aparatnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang otoriter.
       Selanjutnya, pasca Orde Baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus Pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas Skondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menguat.
       Berdasarkan laporan hasil penyelidikan oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM), telah ditemukan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak yang mengarah pada tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM yang menjadi tanggung jawab negara (state responsibilities). Pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan paksa dan lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Berikut adalah fakta pelanggaran yang diperoleh KPP-HAM:
Tabel 1: Pelanggaran yang ditemukan oleh KPP-HAM
Pelanggaran
Keterangan
Pembunuhan massal dan sistematis
Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar alasan-alasan politik maupun bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra judicial. Kasus pembunuhan terjadi di pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di markas militer dan polisi.
Penyiksaan dan penganiayan
Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi terdapat bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. sebelum jajak pendapat, penganiayaan dilakukanoleh milisi tehadap warga sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iring-iringan pengungsi.
Penghilangan Paksa
Penghilangan paksa terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau menangkap untuk kemudian beberapa diantaranya dieksekusi seketika.
Kekerasasn Berbasis Gender
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KPP-HAM menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan dibawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan tersebut memiliki bentuk:(a) seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu dimana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali.
Pembumihangusan
KPP-HAM di Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan, penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa dan lainnya. Pembumihangusan ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung, penginapan, dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit dan prasarana umum lainnya serta instalasi militer maupun polisi. Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-80%.
              SumberSeri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X tahun 2005 tentang KOMNAS HAM yang diterbitkan oleh ELSAM
       Kasus pembumihangusan di Timor Timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (international tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur semakin menguat bahkan Komisi Tinggi HAM untuk hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Atas resolusi  tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia.
       Mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of local remediesyang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Akan tetapi, faktor inability pada kenyataannya tidak secara otomatis menyebabkan penyelesaian dilakukan melalui mekanisme internasional, tetapi melaluihybrid tribunal yang merupakan internasionalisasi pengadilan nasional. Dengan demikian sistem hukum nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk menegakkan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban negara untuk menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain adalah kedekatannya dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan terjadi, dan kedekatannya dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc internasional sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan nasional, pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih dahulu kepada sistem pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam Preamble ICC lebih jelas yakni ‘complementary’.
       Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengadilan nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas semua kejahatan tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi. Jurisdiksi nasional tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang diatur oleh hukum nasional maupun asas-asas hukum internasional.
Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM
       Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Secara konstitusional pembentukan Perpu tentang Pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2.    Substansi yang diatur dalam Perpu tersebut masih terdapat kekurangan atau kelemahan.
       Setelah adanya penolakan Perpu tersebut oleh DPR maka pemerintah kemudian mengajukan rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Dalam Penjelasan pengajuan RUU tentang pengadilan HAM tersebut disebutkan sebagai berikut:
a. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah ada atau diterima oleh Negara Indonesia.
b. Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.
c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
       Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang kedua dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, ayat (2) menyatakan “pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun”. Tidak sampai empat tahun, Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc
       Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya Undang-Undang No. 26 tahun 2000.       Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum   diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3)  Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkunganPeradilan Umum.
       Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini.
       Pertimbangan hukum pembentukan pengadilan HAM yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan HAM oleh Mahkamah konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 Tentang Penerapan Asas Berlaku Surut Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Soares, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang (recurrent) yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relatif lama sehingga pengadilan HAM ini diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu menjadi ganjalan yang tidak terselesaikan;
Kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer atau muncul sebagai ”burning issues” yang berdimensi luas mengingat Indonesia tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh bangsa-bangsa didunia sebagai persoalan kolektif hak asasi manusia kontemporer;
Ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam menjawab sejumlah persoalan HAM di masa kini dan masa mendatang.
       Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang pengadilan  HAM tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pengadiln HAM ad hoc yang terbentuk melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1), Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
             Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga sesuai dengan Perpu No. 1 Tahun 1999, dalam Perpu tersebut dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Komnas HAM lalu membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan memberikan perhatian khusus pada pelanggaran berat HAM antara lain genocide, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur Negara dan atau badan nasional dan internasional lain dalam pelanggaran HAM di Timor Timur.
1.    Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan jika sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan Pasal 21 ayat (1), Jaksa Agung selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan melakukan penyidikan.
2.    Hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka diserahkan kepada Presiden.
3.    Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membentuk pengadilan ham ad hoc.
4.    DPR sependapat dengan Jaksa Agung, maka DPR mengajukan usul kepada presiden untuk dikeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
             Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang Pleno DPR melalui Keputusan DPR-RI No. 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001.
b. Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc.
             Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres No.96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres No. 53 Tahun 2001 oleh Pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No.96 Tahun 2001 dan yurisdiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April sampai dengan September 1999 (penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi yaitu kasus pelanggaran HAM dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat diungkap, termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas sedikit banyak terhalang).


1 komentar:

  1. Hard Rock Casino $24.5M Sale for Atlantic City - Mapy
    A detailed 상주 출장안마 2021 Hard Rock 강원도 출장마사지 Casino with a $24.5M Sale in Atlantic City. It's a great property and it also 양산 출장샵 has 창원 출장안마 an outdoor 평택 출장마사지 pool. This

    BalasHapus