UU.NO.38 Tahun 1999 Tentang HAM
A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasai Manusia
(HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungan
antara negara dan warga negara, dan dalam hubungan antara sesama warga negara.
HAM merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan yang
diperoleh manusia dari Tuhan YME dan merupakan hak yang tidak dapat
diabaikan. HAM tidak dapat digganggu gugat oleh siapapun karena HAM bersifat
kodrati dan berlaku sepanjang hidup manusia.
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari
kawasan Eropa. Wacana awal HAM di Eropa yang dimulai dengan lahirnya Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 1215.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan dua peristiwa dalam sejarah dunia
yang menghasilkan rumusan yang mirip dengan rumusan hak-hak asasi manusia yaitu
Revolusi Amerika yang dimulai pada tahun 1776 dan Revolusi Perancis pada tahun
1789. Sejarah besar perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan perumusan
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang dikukukan oleh PBB dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada
tanggal 10 Desember 1948.
Di Indonesia, HAM
bersumber dan bermuara pada pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan Hak
Asasi Manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan
harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Setiap hak akan
dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak tidak memperhatikan
hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atau dengan kata lain dapat
menimbulkan kasus-kasus pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM bisa saja
terjadi di berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendididikan.
Berangkat dari
pernyataan tersebut, makalah ini akan membahas masalah penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) di dunia pendidikan Indonesia. Pembahasan tersebut terkait dengan
pengertian dan jenis HAM, landasan hukum penegakan HAM di Indonesia, analisis
kasus pelanggaran HAM di dunia pendidikan Indonesia, serta upaya penegakan HAM
di dunia pendidikan Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan jenis Hak Asasi
Manusia (HAM) ?
2.
Apa landasan hukum penegakan HAM di
Indonesia ?
3.
Bagaimana analisa kasus pelanggaran HAM
di dunia pendidikan Indonesia?
4.
Bagaimana upaya penegakan HAM di dunia
pendidikan Indonesia ?
1.2 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dan jenis
Hak Asasi Manusia (HAM).
2.
Untuk mengetahui landasan hukum
penegakan HAM di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui analisa kasus
pelanggaran HAM di dunia pendidikan Indonesia.
B. Pembahasan
2.1 Pengertian dan Jenis Hak
Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) sering disebut
sebagai human right, dan dipahami banyak orang secara keliru. HAM
hanya diartikan secara sempit sebagai kebebasan. Padahal, HAM lebih luas
daripada kebebasan atau kebebasan itu hanya sebagian dari HAM. Secara teoritik
HAM lebih mudah dipahami daripada dilakukan dalam perilaku. HAM dapat diartikan
sebagai hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir, sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa, dan tidak dapat diganggu gugat atau dicabut oleh siapapun juga dan
tanpa hak dasar itu manusia akan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya
sebagai manusia. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 39
tahun 1999, dijelaskan pengertian hak asasi manusia (HAM) seperti dalam pasal 1
ayat (1), HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Hak Asasi Manusia
(HAM) dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena
pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka HAM tidak tergantung dari
pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. HAM diperoleh
manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang
tidak dapat diabaikan.
Pada setiap hak
melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban
asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita
wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga
dimiliki oleh orang lain.
Dalam pelaksanaanya,
Hak Asasi Manusia (HAM) dibagi atas berbagai jenis. Berikut ini pembagian jenis
Hak Asasi Manusia dunia, diantaranya:
1.
Hak asasi pribadi / Personal Right
·
Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian
dan berpindah-pndah tempat
·
Hak kebebasan mengeluarkan atau
menyatakan pendapat
·
Hak kebebasan memilih dan aktif di
organisasi atau perkumpulan
·
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk,
dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.
Hak asasi politik / Political Right
·
Hak untuk memilih dan dipilih dalam
suatu pemilihan
·
Hak ikut serta dalam kegiatan
pemerintahan
·
Hak membuat dan mendirikan parpol /
partai politik dan organisasi politik lainnya
·
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu
usulan petisi
3.
Hak azasi hukum / Legal Equality Right
·
Hak mendapatkan perlakuan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan
·
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil /
pns
·
Hak mendapat layanan dan perlindungan
hukum
4.
Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
·
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual
beli
·
Hak kebebasan mengadakan perjanjian
kontrak
·
Hak kebebasan menyelenggarakan
sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
·
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
·
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang
layak
5.
Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
·
Hak mendapat pembelaan hukum di
pengadilan
·
Hak persamaan atas perlakuan
penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.
Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
·
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan
pendidikan
·
Hak mendapatkan pengajaran
·
Hak untuk mengembangkan budaya yang
sesuai dengan bakat dan minat
2.2 Landasan Hukum Penegakan HAM di
Indonesia
Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap manusia sebagai anugerah
Tuhan dan oleh sebab itu bersifat universal. Sekalipun HAM bersifat universal,
tetapi pemahaman setiap orang tentang HAM tersebut berbeda-beda. Cara pandang
tersebut dipengaruhi oleh sistem filsafat, ideologi, dan yuridis konstitusional
yang berlaku di dalam suatu negara.
Cara pandang HAM di Indonesia tercermin dalam landasan hukum penegakanya,
yaitu:
a. Landasan Idiil
Landasan idiil
merupakan landasan filosofis dan moral bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa
memberikan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM). Landasan Idiil HAM di Indonesia adalah Pancasila sila ke-2
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
b. Landasan
Konstitusional
UUD 1945 menjadi
landasan konstitusional bagi bangsa dan Negara Indonesia dalam memberikan
penghormatan , pengakuan, perlindungan, serta pengakuan HAM di Indonesia.
Landasan konstitusional (UUD 1945) yakni:
·
Pembukaan UUD 1945 alenia ke-1 dan ke-4
·
Pasal 27, pasal 28, pasal 28 A sampai
pasal 28 J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal
34 UUD 1945
c. Landasan Operasional
Landasan operasional
adalah landasan pelaksanaan bagi penegakan HAM di Indonesia yang meliputi
aturan-aturan pelaksana seperti undang-undang (UU) dan TAP MPR. Pelaksanaan UU
diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden
(Kepres), dan peraturan daerah (Perda). Ketentuan peraturan perundangan tentang
HAM sebagai implementasi dari UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Ketetapan MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
pengahapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
3. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
4. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
5. Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Kemanusiaan.
6. Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum .
7. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
8. Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
9. Undang-Undang RI Nomor 19 tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa
sebagai dasar ratifikasi Konvensi ILO 105 tahun 1957
10. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan
dan Jabatan sebagai dasar ratifikasi Konvensi ILO nomor 111 tahun 1958.
11. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja sebagai Dasar untuk Ratifikasi Konvensi ILO nomor 138
tahun 1973.
12. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarang dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak sebagai Dasar
Ratifikasi Konvensi ILO 182 tahun 1999.
13. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 rentang Perlindungan Anak.
14. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
15. Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.Di samping ketentuan Undang-Undang seperti tersebut di atas,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan dalam bentuk Keputusan
Presiden maupun Instruksi Presiden. Berbagai aturan tersebut adalah sebagai
berikut.
16. Keputusan Presiden RI Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
17. Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-Hak Anak.
18. Keputusan Presiden RI Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
19. Keputusan Presiden RI Nomor 129 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan.
20. Instruksi Presiden RI Nomor 26 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan
Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan
Kebijakan Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan.
21. Keputusan Presiden RI Nomor 83 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi sebagai Dasar untuk meratifikasi Konvensi
ILO nomor 87 tahun 1948.
22. Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja sebagai dasar Ratifikasi Konvensi ILO nomor 88 tahun
1948.
2.3 Analisis Kasus Pelanggaran HAM di Dunia
Pendidikan Indonesia
2.3.1 Kasus-kasus Pelanggaran HAM di
Indonesia
Dalam perjalanan
sejarah Indonesia, masalah terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih banyak
terjadi di berbagai bidang kehidupan. Pelanggaran itu tidak hanya menyangkut
hak pribadi seorang warga Negara, bahkan ada pelanggaran yang menyangkut hak
sebuah kelompok yang dirampas oleh kelompok lain. Berbagai jenis pelanggaran
HAM di atas pernah terjadi di Indonesia. Pelanggaran hak asai manusia
dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni : (1) pelanggaran HAM berat dan (2)
pelanggaran HAM ringan. Berikut adalah beberapa kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Indonesia dan belum tersentuh oleh proses hukum.
Kasus Pelanggaran HAM
Masa Lalu yang Belum Tersentuh Proses Hukum
No
|
Nama Kasus
|
Tahun
|
Jumlah Korban
|
Keterangan
|
1
|
Pembantaian
massal 1965
|
1965-1970
|
1.500.000
|
Korban
sebagian besar merupakan anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya
seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar
proses hukum yang sah
|
2
|
Penembakan
misterius “Petrus”
|
1982-1985
|
1.678
|
Korban
sebagian besar merupakan tokoh kriminal, residivis, atau mantan kriminal.
Operasi militer ini bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitas institusi
yang jelas
|
3
|
Kasus di
Timor Timur pra Referendum
|
1974-1999
|
Ratusan ribu
|
Dimulai
dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang
sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer
rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
|
4
|
Kasus-kasus
di Aceh pra DOM
|
1976-1989
|
Ribuan
|
Semenjak
dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi
militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
|
5
|
Kasus-kasus
di Papua
|
1966-…..
|
Ribuan
|
Operasi
militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi
berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam, antara perusahaan
tambang internasional, aparat negara, berhadapan dengan penduduk local
|
6
|
Kasus
Dukun Santet Banyuwangi
|
1998
|
puluhan
|
Adanya
pembantaian terhadap tokoh masyarakat yang dituduh dukun santet.
|
Sumber : Monitoring KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan)
Tidak hanya kasus di atas saja yang berlalu tanpa adanya proses hukum,
beberapa kasus pelanggaran HAM ringan pun ada yang belum ditangani secara
serius berdasarkan proses hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus pelanggaran
HAM ringan itu diantaranya kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, kasus
perdanggangan wanita dan anak di bawah umur, kasus pemerolehan pendidikan yang
layak, dan masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM ringan lainnya.
Kasus pelanggaran HAM baik berat maupun ringan tidak bisa dihindarkan dalam
berbagai bidang kehidupan, temasuk di bidang pendidikan. Salah satu contoh
kasus HAM ringan yang terjadi di dunia pendidikan yang begitu kontroversial
adalah kasus yang terjadi si sebuah SMA di Pangkal Pinang tahun 2010 lalu.
Kasus tersebut bermula dari pernyataan empat siswa SMA Pangkal Pinang,
Kepulauan Riau di jejaring sosialfacebook mengenai
pihak sekolahnya. Pernyataan keempat siswa tersebut akhirnya berujung dengan
dijatuhkanyan sanksi terberat yaitu pemulangan kembali keempat siswa tersebut
kepada orang tuanya. Hal ini terjadi karena pihak sekolah merasa nama baik
instansi mereka telah tercemar akibat pernyataan keempat siswa tadi.
2.3.2 Analisis Kasus Pelanggaran HAM di
Dunia Pendidikan
Kasus-kasus
pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Indonesia, memungkinkan penyelesaian dan
penegakan HAM secara adil bagi semua pihak. Banyak diantara kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi masih menimbulkan permasalahan di kemudian hari
bagi kedua belah pihak. Hal ini terjadi semata-mata karena pengadilan atas
pelanggaran HAM yang terjadi masih dirasa berat sebelah atau hanya mementingkan
kepentingan salah satu pihak saja. Pada dasarnya, kasus-kasus pelanggaran HAM
seyogyanya diselesaikan dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak,
yaitu pihak yang terlanggar HAMnya dan pihak yang melanggar HAM. Walau dirasa
sulit, akan tetapi proses penegakan HAM yang adil harus terus diupayakan.
Dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak yang terkait kasus dan
berdasarkan landasan hukum yang konkret, maka penegakan HAM bisa diupayakan
dengan seadil-adilnya.
Kasus HAM yang terjadi dalam dunia pendidikan yang melibatkan empat
siswa SMA Pangkal Pinang, Kepulauan Riau adalah salah satu contoh kasus
penegakan HAM yang dirasa masih belum memberikan keadilan bagi kedua belah
pihak. Bagaimana tidak, akibat pernyataan keempat siswa tersebut di jejaring
socialfacebook akhirnya mereka harus dikeluarkan dari sekolah.
Mungkin sudah kelewatan jika empat siswa SMA Tanjung Pinang tersebut menghina
pihak sekolahnya di facebook yang
bisa saja dibaja oleh semua orang. Akan tetapi, apakah mereka pantas di
keluarkan dari sekolah? Tidakkah hukuman itu terlalu berat? Apakah kepala
sekolah dan dewan guru tidak memiliki kebijakan lain?
Jika di telaah lebih
dalam, keputusan sekolah untuk mengeluarkan keempat siswa SMA Tanjung Pinang
dari sekolah secara tidak langsung telah melanggar hak mereka untuk mendapatkan
pendidikan. Bukankah dalam UUD 1945 sebagai landasan konstitusional penegakan
HAM di Indonesia telah ada jaminan mengenai hak pendidikan seperti yang
tertuang dalam pasal 31 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”. Selain itu akses rakyat terhadap pendidikan juga telah dituangkan
dalam pasal 5 UU Sisdiknas yang menyatakan:
1. Setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
2. Warga Negara yang memiliki fisik , emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat
yang terpencil berhak memperoleh pendidikan khusus.
4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
5. Warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan telah dijamin oleh konstitusi. Penegakan HAM sudah
sepantasnya menjadi tanggungjawab seluruh lapisan masyarakat, termasuk juga
insan pendidikan. Keputusan pihak sekolah untuk mengeluarkan empat siswa SMA
Tanjung Pinang dari sekolah kerena membuat pernyataaan “tak sepantasnya”
mengenai pihak sekolah di facebook dirasa
masih kurang tepat. Keputusan tersebut bisa saja menimbulkan polemik baru
dikemudian hari bagi keempat siswa. Kita tahu bahwa keputusan untuk memberikan
sanksi mengeluarkan siswa dari sekolah merupakan keputusan yang di buat karena
adanya pelanggaran berat oleh siswa. Bukan tidak mungkin nantinya setelah siswa
di keluarkan dari sekolah, mereka justru kesulitan untuk mendapatkan sekolah
lain. Berdasarkan hal tersebut, keputusan sekolah untuk mengeluarkan keempat
siswanya dari sekolah secara tidak langsung menghalang-halangi hak mereka untuk
mendapatkan pendidikan.
Sudah sepantasnya
pengadilan atas pelanggaran HAM dilakukan dengan seadil-adilnya. Dari persoalan
diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM hanya
mementingkan kepentingan satu pihak saja. Dimana pihak tersebut adalah pihak
yang dilanggar HAMnya, dalam kaitanya dengan kasus tersebut adalah pihak
sekolah. Pihak sekolah merasa nama baik instansi sekolah menjadi tercemar
akibat pernyataan keempat siswa SMA Pangkal Pinang tersebut. Akan tetapi disini
sekolah justru membuat keputusan yang menimbulkan pelanggran HAM lainya, yaitu
pelanggaran HAM atas pendidikan keempat siswa tersebut. Jadi, keputusan untuk
mengeluarkan sanksi terberat terhadap keempat siswa tersebut bisa lebih
dipertimbangkan lagi, mengingat kasus ini juga merupakan kasus internal
sekolah. Seyogyanya sekolah dapat memberikan sanksi yang lebih edukatif
terhadap siswa. Selain dapat menimbulkan efek jera, sanksi tersebut juga
dapat memberikan pendidikan kepada siswa tanpa menimbulkan polemik baru di
kemudian hari.
2.4 Upaya Penegakan HAM di Dunia Pendidikan
Indonesia
Pentingnya pendidikan
selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk memajukan Hak Asasi Mnusia di
Indonesia, pendidikan juga menjadi alat penting untuk memajukan pengetahuan,
serta harkat dan martabat bangsa Indonesia. Selain pendidikan sebagai suatu hak
yang diberikan berdasarkan konstitusi, pendidikan juga menjadi suatu kewajiban
yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Pendidikan merupakan hak
konstitusional, yang dijamin implementasinya secara nasional berdasarkan
konstitusi. Di Indonesia hak ini diakui dan dijamin di dalam UUD 1945. Tanggung
jawab negara di dalam pendidikan dituangkan di dalam pasal-pasal dalam UUD
1945, dan sasaran pendidikan secara konkret adalah “….mencerdaskan kehidupan
bangsa….” Sebagaimana yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.
Berangkat dari hal tersebut, sudah sepantasnya seluruh warga negara
Indonesia mengupayakan kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal sentral yang perlu
diperhatikan adalah upaya memajukan pendidikan sangat erat kaitanya dengan
pemenuhan hak atas pendidikan. Kasus yang terjadi di Pangkal Pinang sekitar
tahun 2010 lalu telah mengingatkan kita tentang bagaimana hak atas pendidikan
ini dipandang sebelah mata. Keputusan sekolah unuk mengeluarkan keempat siswa
yang membuat pernyataan “tak sepantasnya” di facebook dirasa
terlalu berlebihan sehingga menghalang-halangi mereka untuk memperoleh hak atas
pendidikan mereka.
Kasus keempat siswa
SMA Pangkal Pinang tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih
edukatif. Pemberian sanksi untuk mengeluarkan siswa hanya akan membuat hak
keempat siswa tersebut untuk mendapatkan pendidikan menjadi terhalangi. Pihak
sekolah bisa saja menyelesaikan kasus tersebut dengan cara mediasi antara kedua
belah pihak, dalam kaitanya dengan kasus ini adalah keempat siswa SMA Pangkal
Pinang dan juga pihak sekolah yang merasa nama baiknya tercemar. Bila perlu
sekolah merangkul Dinas Pendidikan daerah setempat unutuk menjadi mediator atas
kasus tersebut. Dengan begitu mungkin kasus tersebut bisa diselesaikan dengan
lebih adil lagi bagi kedua belah pihak. Melalui mediasi, keempat siswa yang
bersangkutan dengan kasus tersebut dapat meminta maaf langsung kepada pihak
yang bersangkutan serta manjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.
Sementara pihak sekolah yang bersangkutan diharapkan dapat berbesar hati untuk
memaafkan keempat siswa tersebut. Dengan mediasi tersebut, sekolah juga dapat
mempertimbangkan keputusan sanksi yang seadil-adilnya terhadap keempat siswa
tersebut. Sanksi tidak harus berupa sanksi terberat yaitu mengeluarkan siswa
dari sekolah. Namun untuk membuat efek jera dan agar tindakan tersebut tidak
ditiru oleh siswa yang lain sanksi dapat berupa pemberian skorsing terhadap siswa.
Perlu juga diingat pemberian skorsing juga tidak bisa seenaknya saja, perlu ada
pertimbangan yang matang atas pemberian lama skorsing terhadap siswa.
Pemeberian sanksi tersebut akan terlihat lebih edukatif bagi siswa dan tentunya
nama baik instansi sekolah juga akan tetap terjaga.
UU
NO.26 Tahun 2000 TENTANG PENGADIALAN HAM
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Menurut Satjipto Raharjo, politik
hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan hukum dalam
masyarakat. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya dinamika masyarakat karena politik hukum diarahkan kepada ius
constituendum, hukum yang seharusnya berlaku. Dalam konsep demokrasi, dengan
memperhatikan dinamika masyarakat yang berkembang sejauh ini, beberapa hal
mengharuskan penegakan HAM sebagai akibat dari perkembangan politik hukum yang
terjadi, karena disanalah menjadi nilai penting sebagai salah satu penghargaan
atas entitas manusia secara individual. HAM menjadi masalah yang cukup krusial
dengan mempertimbangkan kecenderungan ancaman konflik dan kekerasan, yang
didalam demokrasi selalu mengedepankan aspek itu. Namun, masalah HAM
barangkali, kendatipun ada elemen muncul dari nilai yang diyakini sejauh ini
relatif beririsan. Bisa seiring, tapi bisa pula bertubrukan. Permasalahan HAM
ini menjadi permasalahan penting dalam politik hukum suatu negara.
Sejak hukum membuat tradisi untuk
dituliskan (written law), maka penafsiran terhadap teks hukum tidak
dapat dihindarkan. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa ruang bagi
penafsiran. Teks-teks itu ditafsirkan oleh karena ia merupakan “a
finitive-closed scheme of permessible justification”, sedang alam dan
kehidupan sosial itu bukan suatu “scheme” yang “finite
closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Saat ini tengah
berkembang bahwa hukum harus dilihat sebagai bangunan rasional, yang memiliki
metode rasional pula bagi upaya untuk mengembangkannya. Beberapa tokoh
positivisme hukum seperti Hans Kelsen, John Austin, Lon Fuller, Hart, Ronald
Dworkin dan banyak lagi lainnya, mencoba membuat kerangka bangunan hukum yang
serba tertib, teratur dan formal, dan struktur ilmu pun menjadi kaku dan
bersifat positif-legalistik. Pandangan ini telah berkembang
luar biasa masif, menghegemoni banyak pemikir hukum dan berakhir pada klaim
absoluditas penjelasan yang dapat diterima. Realitas hukum termarjinalisasi dan
pencarian kebenaran alternatif menjadi terhambat.
Fenomena tersebut diatas ternyata juga
terjadi di Indonesia, salah satunya adalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999. Kasus
Timor Timur bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan dua
opsi pada tanggal 27 Januari 1999, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus
melalui jajak pendapat. Pada tanggal 5 Mei 1999 Pemerintah RI melakukan
perjanjian dengan Portugal di New York di bawah payung Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur
termasuk pengaturan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. Dalam
Pasal 3 Perjanjian New York dinyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia akan
bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Timur agar
penentuan pendapat dapat dilaksanakan secara adil dan damai dalam suasana yang
bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan dari pihak manapun”.
Hasil jajak pendapat menunjukkan
sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia. Setelah
pengumuman hasil jajak pendapat, terjadi sejumlah tindak kekerasan yang
menimbulkan korban jiwa maupun terjadinya kerusakan dalam skala besar terhadap
rumah-rumah penduduk serta harta benda lainnya, bahkan terjadi pemindahan
penduduk secara meluas. Berdasarkan hal-hal tersebut diduga telah terjadi
pelanggaran berat HAM dan pelanggaran hukum humaniter. Menyikapi kekerasan yang
terjadi di Timor Timur, pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB (DK
PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 yang mengutuk tindak kekerasan yang
terjadi di Timor Timur dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadili pihak-pihak
yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Tak hanya itu, Komisi Hak
Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special
session mengenai situasi di Timor Timur.Special session tersebut
menghasilkan Resolusi Nomor 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah
Indonesia, antara lain dalam kerja sama dengan Komnas HAM menjamin orang-orang
yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis
terhadap HAM akan diadili. Kemudian Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM
membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada
tanggal 22 September 1999 dengan masa kerja terhitung sejak 23 September 1999
hingga akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000.
Dalam laporan yang disusun di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2000, KPP-HAM menyatakan telah menemukan adanya
pelanggaran berat HAM, yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pengusiran, dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi
terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup, hak atas
integritas fisik, hak atas kebebasan, hak akan kebebasan bergerak dan bermukim
serta hak milik. Pada bagian kesimpulan, KPP-HAM menyatakan telah berhasil
mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat telah terjadi
pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam
skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan,
penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, pengungsian
paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk
membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara-perkara pelanggaran
HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada hukum nasional dan
internasional, padahal pada saat itu Indonesia belum memiliki peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia maupun pengadilan
hak asasi manusia. Bahwa kemudian Pemerintah Indonesia menyusun dan
mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 November 2000.
Menurut Pasal 104 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang mengadili kasus pelanggaran
HAM berat adalah Pengadilan HAM dan berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pembentukan Pengadilan HAM tersebut pada awalnya didasarkan pada Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur
tentang Pengadilan HAM, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Ham ad hoc, dengan kata lain baik
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
diberlakukan secara ex post facto. Pembentukan pengadilan HAM
di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum dalam pendiriannya. Adanya
kemauan pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang
menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu
hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas hukum karena
hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan bersaingan..
Berangkat dari terpenuhinya sistem
hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan di bidang HAM
tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah
terhadap hal-hal yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah Peradilan
HAM., dalam kerangka membangun hukum Indonesia yang progresif darirule of
law menuju rule of social justice. Lalu bagaimanakah
pembentukan pengadilan HAM di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu proses
politik hukum?
MEKANISME PROSES PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DI INDONESIA TERKAIT KASUS
PELANGGARAN HAM BERAT DI TIMOR TIMUR
Latar
Belakang Pembentukan Pengadilan HAM.
Orde Baru yang berkuasa selama 33
tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Orde baru yang memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah
melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku Negara dan
aparatnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam laporan
tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk
pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat dari struktur
kekuasaan yang otoriter.
Selanjutnya, pasca Orde Baru
pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang
banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak
pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Berbagai pelanggaran HAM
yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala
pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua
dan kasus Pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak
pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas Skondisi ini sorotan dunia
internasional terhadap Indonesia semakin menguat.
Berdasarkan laporan hasil penyelidikan
oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM), telah ditemukan fakta,
dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak yang mengarah pada
tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM yang menjadi
tanggung jawab negara (state responsibilities). Pelanggaran tersebut
mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan paksa dan
lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Berikut adalah
fakta pelanggaran yang diperoleh KPP-HAM:
Tabel 1: Pelanggaran yang ditemukan oleh KPP-HAM
Pelanggaran
|
Keterangan
|
Pembunuhan
massal dan sistematis
|
Terdapat
cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, telah terjadi berbagai tindak
kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar
alasan-alasan politik maupun bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam
dan brutal serta extra judicial. Kasus pembunuhan terjadi di
pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di
markas militer dan polisi.
|
Penyiksaan
dan penganiayan
|
Hampir
dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan
milisi terdapat bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk
sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. sebelum jajak pendapat,
penganiayaan dilakukanoleh milisi tehadap warga sipil yang menolak untuk
bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat,
penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang
terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik
termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iring-iringan pengungsi.
|
Penghilangan
Paksa
|
Penghilangan
paksa terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang
berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan
dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompok-kelompok milisi
yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau
menangkap untuk kemudian beberapa diantaranya dieksekusi seketika.
|
Kekerasasn
Berbasis Gender
|
Kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KPP-HAM menyangkut penyiksaan,
pemaksaan perempuan dibawah umur melayani kebutuhan seks para milisi,
perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan tersebut memiliki bentuk:(a) seorang
pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu
perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara
bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu dimana
tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali.
|
Pembumihangusan
|
KPP-HAM di
Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan,
penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di
berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa dan lainnya. Pembumihangusan ini
dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung,
penginapan, dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan,
rumah sakit dan prasarana umum lainnya serta instalasi militer maupun polisi.
Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 70-80%.
|
Sumber: Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X tahun 2005 tentang
KOMNAS HAM yang diterbitkan oleh ELSAM
Kasus pembumihangusan di Timor Timur
telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (international
tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional
khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur semakin
menguat bahkan Komisi Tinggi HAM untuk hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan
resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di
Timor Timur. Atas resolusi tersebut Indonesia secara tegas menolak dan
akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional
karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak
asasi manusia.
Mekanisme penyelesaian secara hukum
atas pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion
of local remediesyang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum
pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari
Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional
mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Akan tetapi, faktor inability pada
kenyataannya tidak secara otomatis menyebabkan penyelesaian dilakukan melalui
mekanisme internasional, tetapi melaluihybrid tribunal yang
merupakan internasionalisasi pengadilan nasional. Dengan demikian sistem hukum
nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk menegakkan
pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban negara untuk
menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain adalah kedekatannya
dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan terjadi, dan kedekatannya
dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc internasional
sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan nasional,
pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih dahulu kepada sistem
pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam Preamble ICC lebih jelas
yakni ‘complementary’.
Meskipun secara umum dapat dikatakan
bahwa sistem pengadilan nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas
semua kejahatan tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi.
Jurisdiksi nasional tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang
diatur oleh hukum nasional maupun asas-asas hukum internasional.
Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM
Berdasarkan kondisi tentang perlunya
instrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan HAM secara cepat maka
pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu
ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran
HAM berat Timor Timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan Perpu Nomor 1
Tahun 1999 kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang. Alasan
mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara konstitusional pembentukan Perpu tentang Pengadilan HAM dengan
mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dijadikan dasar untuk
mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat.
2. Substansi yang diatur dalam Perpu tersebut masih terdapat kekurangan atau
kelemahan.
Setelah adanya penolakan Perpu
tersebut oleh DPR maka pemerintah kemudian mengajukan rancangan Undang-Undang
tentang Pengadilan HAM. Dalam Penjelasan pengajuan RUU tentang pengadilan HAM
tersebut disebutkan sebagai berikut:
a. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu
anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan
tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai
instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah ada atau
diterima oleh Negara Indonesia.
b. Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai
tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.
c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan
ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini
sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai
penegakan HAM di Indonesia.
Dari ketiga alasan di atas, landasan
hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat
adalah alasan yang kedua dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah
pelaksanaan dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak
lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 104
ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas
HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM berat dibentuk pengadilan
HAM di lingkungan peradilan umum, ayat (2) menyatakan “pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun”. Tidak sampai empat tahun, Undang-Undang
yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000.
Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc
Pengadilan HAM ad hoc adalah
pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya Undang-Undang No. 26 tahun
2000. Legitimasi atas adanya pengadilan
HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang No. 26 tahun
2000 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud
dalam ayat (1) berada di lingkunganPeradilan Umum.
Dalam penjelasannya, DPR yang juga
sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan
usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus
delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang ini.
Pertimbangan hukum pembentukan
pengadilan HAM yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan HAM oleh Mahkamah
konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 Tentang Penerapan Asas
Berlaku Surut Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat yang dimohonkan oleh Abilio
Jose Osorio Soares, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang (recurrent)
yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang
relatif lama sehingga pengadilan HAM ini diharapkan dapat menyelesaikan
sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu menjadi ganjalan yang tidak
terselesaikan;
Kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer atau
muncul sebagai ”burning issues” yang berdimensi luas mengingat Indonesia
tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak asasi manusia yang
dihadapi oleh bangsa-bangsa didunia sebagai persoalan kolektif hak asasi
manusia kontemporer;
Ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam
menjawab sejumlah persoalan HAM di masa kini dan masa mendatang.
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang
pengadilan HAM tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme
bagaimana proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah
adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dalam
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pengadiln HAM ad
hoc yang terbentuk melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1), Komnas HAM melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga sesuai dengan Perpu No. 1
Tahun 1999, dalam Perpu tersebut dinyatakan pihak yang berwenang melakukan
penyelidikan adalah Komnas HAM. Komnas HAM lalu membentuk KPP-HAM yang memiliki
ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data,
informasi tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan memberikan perhatian
khusus pada pelanggaran berat HAM antara lain genocide, massacre,
torture, enforced displacement, crime against woman and children.
Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur Negara dan atau badan nasional dan
internasional lain dalam pelanggaran HAM di Timor Timur.
1. Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan jika
sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan Pasal 21 ayat (1), Jaksa Agung selaku
penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan melakukan penyidikan.
2. Hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat bukti bahwa telah terjadi
pelanggaran HAM berat, maka diserahkan kepada Presiden.
3. Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi
agar pemerintah membentuk pengadilan ham ad hoc.
4. DPR sependapat dengan Jaksa Agung, maka DPR mengajukan usul kepada presiden
untuk dikeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM ad
hoc.
Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang Pleno DPR
melalui Keputusan DPR-RI No. 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001.
b. Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan
HAM ad hoc.
Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan
Keppres No.96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena
Keppres No. 53 Tahun 2001 oleh Pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi
yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun
waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan
Keppres No.96 Tahun 2001 dan yurisdiksi menjadi tiga wilayah yaitu
wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April sampai
dengan September 1999 (penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi yaitu
kasus pelanggaran HAM dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat
diungkap, termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan adanya
unsur sistematik dan meluas sedikit banyak terhalang).
Hard Rock Casino $24.5M Sale for Atlantic City - Mapy
BalasHapusA detailed 상주 출장안마 2021 Hard Rock 강원도 출장마사지 Casino with a $24.5M Sale in Atlantic City. It's a great property and it also 양산 출장샵 has 창원 출장안마 an outdoor 평택 출장마사지 pool. This