Jumat, 28 Oktober 2016

ilmu hukum tindak pidana


Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan
A.       Kronologis Kasus
Perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup Nomor.100/Pid/B/2000/PN Smg secara garis besar adalah sebagai berikut :
Bahwa terdakwa Suharno Wiyono, pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi sekitar pertengahan tahun 1996 sampai dengan tahun 1999, bertempat tinggal di Jalan Tlogosari (Arteri) Rt.05/Rw.IX No.232 Kelurahan Pedurungan Tengah, Kecamatan Pedurungan Semarang atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Semarang, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya atau beracun yaitu sisa olahan olie bekas tanpa ijin, masuk diatas atau kedalam tanah, kedalam udara atau kedalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan-bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, pada hal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan keselamatan umum atau nyawa orang lain, dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:

- Sebelum Terdakwa mengolah olie bekas yang termasuk limbah bahan berbahaya dan  beracun (limbah B.3), terlebih dahulu Terdakwa menyuruh karyawannya bernama Siswanto  dan Sunar untuk mencari dan mengumpulkan olie bekas dengan membeli dari bengkel-bengkel kendaraan bermotor diwilayah Semarang ;
- Setelah olie bekas dapat terkumpul 2 hingga 4 drum dalam sehari, kemudian oleh terdakwa dipilih untuk bisa diproses menjadi olie bening ;
- Adapun cara terdakwa untuk memilih olie bekas dan selanjutnya dapat diproses menjadi olie bening yaitu olie bekas yang sudah ditampung dalam drum berukuran 18 kg, dicampur dengan zat kimia berupa air keras dengan perbandingan 10% untuk air kerasnya ;
- Selanjutnya olie bekas yang sudah dicampur dengan air keras, diendapkan selama 1×24 jam dan setelah kotoran dari olie yang diendapkan dapat turun, oleh Terdakwa kemudian disaring dan dimasukkan dalam drum yang telah tersedia terpisah dari kotoran olie bekas, sehingga menghasilkan olie bening ;
- Dari olie bekas menjadi olie bening, untuk proses berikutnya oleh Terdakwa dicampur dengan larutan brichingit (tepung kapur) dengan perbandingan untuk 200 liter olie bening campuran tepung kapurnya 50 kg dan setelah itu dimasak atau diolah dalam waktu kurang lebih 6 jam ;
- Setelah olie yang sudah dicampur dengan tepung kapur dimasak sampai mendidih, kemudian disaring dengan mesin penyaring serta dimasukkan dalam drum yang telah tersedia dan siap dipasarkan ;
- Kemudian dari bekas atau sisa olahan olie bekas, sengaja atau tidak sengaja oleh Terdakwa dibuang disekitar rumahnya, sehingga warna tanah disekitarnya menjadi hitam ;
- Bahwa terdakwa dalam  menyimpan  dirumahnya  olie  bekas  yang  merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun serta kemudian mengolahnya menjadi bening dan kemudian hasilnya dipasarkan tersebut, sebelumnya sangat beralasan untuk mengetahui atau menduga, akibat dari perbuatannya tanah disekitar pengolahan olie bekas atau disekitar rumahnya menjadi tidak subur dan bahkan dapat membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain ;

B.       Dasar Hukum
Dasar hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan mengenai Tindak Pidana Lingkungan Hidup pengaturannya dalam Pasal 41, 42, 43 dan Pasal 46.
a.    Pasal 41
1)   Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah).
2)   Jika  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku  tindak pidana diancam penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).


b.    Pasal 42
1)   Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2)   Jika  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku  tindak pidana diancam penjara paling lama  5  (lima)  tahun  dan  denda  pidana  paling  banyak  Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
c.    Pasal 43
1)   Barangsiapa yang dengan melanggar perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya tau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,  mengangkut,  menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan   tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain,  diancam  pidana paling lama 6 (enam)  tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
2)   Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan  atau menyembunyikan  atau merusak  informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1), padahal  mengetahui  atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan  kesehatan  umum  atau nyawa orang lain.
3)   Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan  orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda.
d.   Pasal 46
1)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalan bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan,   perserikatan, yayasan  atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut dan atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja ataupun berdasar  hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan,   perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan  sanksi  pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak  sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3)   Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus tempat tinggal mereka atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4)   Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintah supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

C.      Analisis Putusan
-       Dasar Pertimbangan Kejaksaan Negeri Semarang Dalam Pengajuan Kasasi.
Pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam pengajuan kasasi tersebut/memori kasasi tersebut didasarkan atas pertimbangan berikut ini :
Bahwa Pengadilan Negeri Semarang di Semarang yang telah menjatuhkan putusan dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan yakni :
1.        Putusan Hakim Majelis Pengadilan Negeri Semarang yang membebaskan terdakwa dari dakwaan bukan merupakan pembebasan murni karena Putusan Pengadilan Negeri Semarang seharusnya berbunyi Onslag Van Rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan), tetapi oleh Hakim Majelis dibuat sebagai putusan Vrijapraak.
2.        Hal-hal yang ditemukan dalam putusan Hakim Majelis yang ternyata telah menjatuhkan putusan pembebasan murni adalah karena :
a.    Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang telah salah menafsirkan atau tidak menerapkan hukum pembuktian secara benar yaitu Hakim Majelis hanya menggunakan penafsiran suatu peraturan hukum secara formal saja dalam pertimbangannya, tetapi secara material keliru kebenarannya. Kekeliruan Hakim Majelis dalam menafsirkan suatu peraturan terlihat dalam putusannya yang berpendapat sebagai berikut :
1)   Bahwa pelanggaran terhadap UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup haruslah masyarakat yang melapor, sebagaimana pertimbangan dari Majelis Hakim yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 55 (1) (2) PP No.18 Tahun 1999 dan UU No.23 Tahun 1997  Pasal 37 (1) (2).
2)   Bahwa penyidikan terhadap pelanggaran masalah lingkungan hidup haruslah dilakukan penyidik PPNS dari Kantor BAPEDAL dan seharusnya Kepolisian melaporkan tentang kejadian perbuatan terdakwa kepada BAPEDAL untuk memberikan peringatan tertulis sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 62 (1) (2) dan Pasal 61 (1) dari PP. No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahaya dan Beracun.
3)   Bahwa keterangan saksi ahli dari BAPEDALDA Jawa Tengah tidak didukung hasil laboratorium baik dari Polri maupun instansi lain.
b.    Penafsiran Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang keliru tersebut yaitu:
1)   Dalam bunyi Pasal 55 (1) PP No.18 Tahun 1999, adanya kalimat “Setiap orang berhak melaporkan adanya pencemaran lingkungan hidup” telah ditafsirkan oleh Majelis Hakim, bahwa perbuatan terdakwa yang nyata-nyata telah mengolah olie bekas di rumahnya sendiri tanpa dilengkapi suatu ijin bagi pengolahan maupun pembuangan dari limbahnya, haruslah ada laporan dari masyarakat mengenai adanya pencemarannya dan penafsiran yang demikian tidaklah benar, karena kalimat berhak dalam Pasal 55 PP No. 18 Tahun 199, tidak berarti bahwa perbuatan terdakwa yang nyata-nyata mengolah olie bekas sejak tahun 1997 sampai dengan  tahun 1999 yang hanya mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan hidup, harus ada laporan dari masyarakat, karena dalam Pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997, perbuatan terdakwa tersebut bukanlah suatu pelanggaran sebagaimana ditafsirkan Majelis Hakim dalam pertimbangannya. Bahwa karena perbuatan terdakwa mengolah olie bekas adalah tindak pidana kejahatan maka tanpa harus ada laporan dari masyarakat sesuai Pasal 7 (1) KUHAP, Kepolisian dapat melakukan penyidikan serta ditegaskan dalam Pasal 40 ayat 1 UU No.23 Tahun 1997.
2)   Bahwa dalam bunyi Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 yang menjadi dasar pendapat dari Majelis Hakim dalam penafsirannya bahwa penyidikan terhadap pelanggaran masalah lingkungan hidup haruslah PPNS dari Kantor BAPEDAL, merupakan suatu penafsiran yang keliru, karena ketentuan Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 tentang sanksi adalah diperuntukkan bagi setiap orang dan/atau badan usaha yang sebelum melakukan usahanya atau kegiatannya baik sebagai penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B.3 termasuk olie bekas, telah terpenuhi adanya suatu ijin dari instansi yang berwenang dan hanya dalam pelaksanaan kegiatan usahanya telah melanggar ketentuan dari pasal-pasal yang ditentukan dalam Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 dan instansi yang berwenang dari BAPEDAL dan apabila dalam waktu 15 hari sanksi tertulis yang diberikan oleh yang berwenang yaitu BAPEDAL tidak diindahkan, maka ijin usaha atau kegiatannya baik bagi penghasil, pengolah, pemanfaat limbah B.3, dapat dicabut sebagaimana bunyi Pasal 62 (2) PP No. 18 Tahun 1999 dan bukan untuk perbuatan terdakwa yang tanpa dilengkapi suatu ijin serta baru berhenti mengolah olie bekas sejak tahun 1999, karena ketahuan oleh pihak Kepolisian.
Bahwa Majelis Hakim tidak akan keliru menafsirkan ketentuan Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999, apabila dengan cermat dan teliti memperhatikan bunyi Pasal 62 (2) PP No. 18 Tahun 1999 yang telah menyebutkan dengan tegas bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam sanksi yang ditentukan Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999, dapat dicabut ijin usahanya.
Disamping itu Majelis Hakim dalam menafsirkan ketentuan dalam Pasal 64 (1) PP No. 18 Tahun 1999, tidak akan keliru apabila mencermati secara keseluruhan dari bunyi Pasal 64 (1) tersebut, karena Pasal 64 (1) terkait erat dengan Pasal 62 (1) (2) PP No. 18 Tahun 1999 yang artinya apabila pada saat mulai berlakunya PP No. 18 Tahun 1999, setiap orang atau badan usaha baik sebagai penghasil, pengolah, pemanfaat maupun penimbun limbah B.3 yang telah memiliki ijin dalam usahanya, tetapi dalam kegiatannya melanggar ketentuan-ketentuan dari syarat-syarat ijin yang diberikan, maka setiap orang atau badan usaha wajib melakukan pembersihan dalam waktu 1 tahun.
Bahwa ketentuan  yang terkandung dalam Pasal 64 (1) PP No. 18 Tahun 1999 tidak benar atau keliru, apabila Majelis Hakim menafsirkan dalam pertimbangannya,   memasukkan perbuatan terdakwa yang sudah sejak semula dengan sengaja tanpa suatu ijin baik mengenai pengolahan olie bekas maupun pembuangan sisa olahan olie bekas yang termasuk dalam limbah B.3, diklasifikasikan  melanggar ketentuan Pasal 64 (1) PP No. 18 Tahun 1999 tidak berdiri sendiri dalam penafsirannya,  tetapi terkait erat dengan Pasal 62 (1) (2) sebagaimana telah diuraikan di atas.
3)   Bahwa tidak dapat diterapkannya ketentuan dari Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap perbuatan terdakwa berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya, karena keterangan saksi ahli tidak didukung oleh hasil laboratorium, karena dalam  Pasal 7 (1) PP No. 18 Tahun 1999 telah disebutkan pembagian jenis limbah B.3 menurut sumbernya dan nyata-nyata dalam PP No. 18 Tahun 1999 olie bekas termasuk suatu limbah B.3 dari sumber yang tidak spesifik dengan kode D. 1005.d serta disebutkan dalam lampiran PP No. 18 Tahun 1999 sebagai bahan pencemar.
Karena oli bekas termasuk limbah B.3 sebagai bahan pencemar, maka penafsiran Majelis Hakim tidak akan keliru apabila dikaitkan dengan ketentuan umum Pasal 1 ke-17 dan ke-18 UU No. 23 Tahun 1997 yang dengan tegas dan jelas memberikan pengertian Limbah B.3 dan B.3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan lingkungan hidup, maka Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 bukan seharusnya tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan terdakwa sebagaimana yang ditafsirkan Majelis Hakim dalam pertimbangannya untuk menjatuhkan putusannya yang bebas murni.
Kekeliruan Majelis Hakim dalam menafsirkan suatu peraturan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, karena Majelis Hakim juga tidak menggunakan alat bukti yang lain, baik berupa keterangan terdakwa, saksi maupun bukti petunjuk serta surat.
3.    Bahwa Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya berpendapat sebagai berikut :
a)    Bahwa terdakwa dalam melakukan pengolahan olie bekas menjadi olie bening sudah berhenti sejak April 1999 sampai sekarang.
b)   Bahwa sesuai perkara yang diajukan dari Kepolisian sampai diajukannya terdakwa ke persidangan, karena terdakwa tertangkap tangan melakukan pengolahan olie bekas dengan barang bukti 9 (sembilan) drum olahan olie bening siap pasar, 23 (dua puluh tiga) drum olie bekas, 2 (dua) jirigen olie palsu, 1 (satu) bak pemanas dan 1 (satu) alat pres.
c)    Bahwa pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup haruslah masyarakat yang melapor.
Dari pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut telah terungkap secara nyata :
1.    Adanya suatu perbuatan dari terdakwa yang secara nyata mengolah olie bekas  menjadi olie bening yang dilakukan sejak tahun 1997 sampai terhentinya terdakwa mengolah olie bekas karena tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian sejak tanggal 26 April 1999. Bahwa perbuatan terdakwa yang tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian, karena nyata-nyata terdakwa dalam mengolah olie bekas telah melanggar ketentuan dalam PP No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (Limbah B.3) yang mengharuskan karena olie bekas merupakan Limbah B.3 dan bahan pencemar dengan kode D.1005.d, maka dalam pengolahannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 sub b haruslah dilakukan secara thernal, stabilasi, solidifikasi dan cara lainnya sesuai perkembangan teknologi serta lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan industri, dan secara nyata terdakwa mengolah olie bekas tersebut, tidak memenuhi ketentuan dalam PP No. 18 Tahun 1999.
Bahwa tertangkap tangannya terdakwa dalam mengolah olie bekas oleh petugas dari Kepolisian, disamping tidak memenuhi ketentuan dari PP No. 18 Tahun 1999, juga tidak memenuhi ketentuan dari Peraturan Menteri Pertambangan dan EnergiNo.05.P/34/M.PE/1988 tentang Tata Cara Penyediaan dan Pelayanan Pelumas Bekas serta Pemanfaatan Pelumas Bekas. Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan pengolahan olie bekas haruslah ada ijin dari Menteri yang dilengkapi penyajian informasi dan rekomendasi dari Pertamina. Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, karena pengolahan olie bekas yang dilakukan oleh terdakwa merupakan rangkaian kegiatan yang tidak hanya mencakup pengolahan saja tetapi juga pembuangan sisa dari olahan olie bekas yang termasuk Limbah B.3, maka untuk pembuangannya tidak begitu saja yang oleh terdakwa dibuang di sekitar pengolahan olie bekas dirumahnya, tetapi harus memenuhi suatu ijin sebagaimana disyaratkan dalam pasal 20 ayat (1) dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga dengan demikian Majelis Hakim membenarkan perbuatan terdakwa yang mengolah olie bekas yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
2.    Bahwa adanya keharusan laporan dari masyarakat yang didasarkan Pasal 55 (1) (2) dari PP No. 18 Tahun 1999 oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya terhadap pelanggaran UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena Majelis Hakim telah salah menafsirkan ketentuan dari bunyi Pasal 55 (1) (2) PP No. 18 Tahun 1999. Bahwa adanya kalimat “setiap orang berhak melaporkan adanya pencemaran lingkungan hidup”, bukanlah berarti tanpa adanya laporan dari masyarakat terhadap perbuatan terdakwa yang nyata-nyata bertentangan   dengan ketentuan sebagaimana uraian dalam point 1) di atas, tidak dapat dilakukan penindakan oleh Petugas Kepolisian. Bahwa petugas Kepolisian dapat melakukan penindakan sebagaimana laporan Polisi tanggal 26 April 1999 serta melakukan  penyidikan dan tidak melaporkan kepada BAPEDAL sebagai instansi yang berwenang menerima laporan dari masyarakat (Pasal 55 (2) PP No. 18 Tahun 1999), karena perbuatan terdakwa bukanlah suatu pelanggaran yang harus dilaporkan kepada  BAPEDAL, karena terdakwa telah melanggar ijin yang ditentukan oleh BAPEDAL. Perbuatan terdakwa yang telah mengolah olie bekas di rumahnya sendiri yang nyata-nyata bertentangan dengan point 1) uraian di atas, adalah suatu kejahatan (pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997). Karena perbuatan terdakwa suatu kejahatan dengan demikian tertangkap tangannya terdakwa mengolah olie bekas, sesuai kewenangan yang ada dalam Pasal 7 (1) KUHAP dan Pasal 6 (1) KUHAP, maka penyidik Kepolisian berhak untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan dan tidak harus melaporkan kepada BAPEDAL terlebih dahulu. Bahwa kewenangan penyidik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 (1) KUHAP, juga tidak bertentangan dengan Pasal 40 (1) UU No. 23 Tahun 1997 yang juga memberikan kewenangan bagi penyidik Kepolisian, disamping penyidik PPNS.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sesuai Pasal 191 ayat 2 KUHAP seharusnya putusan Pengadilan Negeri Semarang berbunyi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (Onstlag Van Rechtvervolging) bukannya  “membebaskan  terdakwa dari segala dakwaan”  Hal ini menyebabkan putusan Majelis Hakim tersebut menjadi putusan bebas yang tidak murni.
Setelah kami buktikan putusan Pengadilan Negeri Semarang dapat diminta pemeriksaan kasasi dengan alasan-alasan sebagai dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub a dan b KUHAP, yaitu:
a)    Majelis Hakim tidak menerapkan atau menetapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya seperti yang dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub a KUHAP yaitu :
1.    Putusan Majelis Hakim tidak memenuhi ketentuan pasal 197 ayat 1 sub b KUHAP bahwa putusan Majelis Hakim dalam pertimbangannya tidak memuat keseluruhan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, tetapi hanya mendasarkan pertimbangnya pada suatu peraturan formal saja, tetapi secara material dalam  penerapannya keliru kebenarannya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
2.    Pasal 197 ayat 1 sub d KUHAP tersebut menggariskan tentang kewajiban Hakim untuk menyusun secara ringkas mengenai fakta-fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Dalam pertimbangan Majelis Hakim telah mengesampingkan :
1)        Keterangan para saksi
a.    Siswanto Bin Iskam, menerangkan benar telah bertugas sebagai pencari olie bekas dari bengkel di wilayah Semarang dan 1 hari dapat terkumpul 1 sampai 3 drum serta menyetorkan kepada terdakwa.
b.    Soegiarto Bin Nanang, menerangkan benar datang ke rumah terdakwa dan membau proses pengolahan olie bekas seperti bau olie gosong dan sangit serta pernah membeli olie bekas yang sudah diolah sejak tahun 1996.
c.    Rusmin Bin Tarno, menerangkan bahwa tugasnya sebagai pekerja di rumah terdakwa adalah mengolah olie bekas dan dalam mengolah olie bekas juga dicampur dengan tepung kafe serta air keras untuk mengendapkan kotoran olie bekas sebelum dimasak dan untuk pembuangan sisa olahan olie bekas dengan membuat lubangan di sekitar buangan  limbah  olie  bekas  sehingga  rumput  di  sekitar  buangan  olie bekas tidak bisa tumbuh   serta tanah di sekitar tempat pengolahan olie bekas menjadi hitam.
d.   Yudia Pranata menerangkan benar pernah memberikan surat tugas kepada  terdakwa  untuk mengumpulkan  olie bekas  serta menyetorkan kepada saksi guna penanggulangan limbah olie bekas. Dan saksi yang usahanya sebagai pengumpul olie bekas dilengkapi dengan ijin dari BAPEDAL serta saksi juga tidak sembarangan dalam usahanya sebagai pengumpul olie bekas, terutama terhadap tumpahan olie bekas di sekitar tempat  usahanya agar ketentuan-ketentuan mengenai  Amdal dapat terjaga.
e.    Ir. Eliana Sr Moerniati yang diajukan sebagai saksi ahli dari BAPEDALDA, menerangkan :
Bahwa jabatan saksi di BAPEDALDA Tk. I Jawa Tengah adalah sebagai Kasi Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Tanah dan Udara.
Bahwa benar bahwa olie bekas merupakan suatu Limbah B.3 dan merupakan bahan pencemar serta dalam PP No. 18 tahun 1999 tercantum dengan kode D.1005.d.
Bahwa  benar  olie  bekas  yang  merupakan  Limbah  B.3  secara langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup karena didalam olie bekas sudah terkandung zat kimia yaitu Plumbun (Pb) yang mempunyai sifat tidak dapat terurai dengan zat-zat lain.
Bahwa  benar  air  keras  juga  merupakan  bahan  berbahaya  dan beracun (B.3)  yang juga dapat mencemari  lingkungan  hidup dan bahkan kesehatan manusia.
2)        Keterangan terdakwa Suharto Wiyono, yang menerangkan :
a.    Bahwa benar telah mengolah olie bekas di rumahnya sendiri di  Jl. Tlogosari  (Arteri)  No.232  Semarang  sejak  tahun  1997  sampai  tahun 1999, karena tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian Polda Jateng.
b.    Bahwa dalam mengolah olie bekas dan membuang sisa olahan olie bekas tidak dilengkapi dengan ijin serta dalam mengolah olie bekas dalam sehari-hari dapat menghasilkan 2 (dua) drum olie bening.
c.    Terdakwa membenarkan telah menyimpang dari surat tugas yang diberikan oleh PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga dengan direkturnya saksi Yudia Pranata dengan maksud untuk mencari keuntungan secara pribadi.
d.   Bahwa benar tanah di sekitar pembuangan olie bekas dan di sekitar pengolahan olie bekas menjadi hitam serta tidak ada tanaman rumput yang tumbuh.
3)        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang mengesampingkan bukti surat berupa surat tugas dari saksi Yudia Pranata selaku Direktur PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga No. 001/ST/SLA/V/1998 tanggal 10-12-1998 yang hanya memberikan tugas bagi terdakwa sebagai pengumpul olie bekas di wilayah Semarang serta menyerahkan kepada PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga serta diakui kebenarannya oleh terdakwa. Bahwa dari surat tugas yang diberikan PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga dikaitkan dengan perbuatan  terdakwa yang sudah mengolah olie bekas sejak tahun 1997, terlihat adanya kesengajaan dari terdakwa untuk menghindari adanya suatu ijin baik  pengolahan maupun pembuangan sisa olahan olie bekas hanya untuk mencari  keuntungan pribadi seolah-olah terdakwa dalam mengolah olie bekas telah dilengkapi dengan surat ijin yang hanya berupa surat tugas dari PT.Sendang Lumas Amarta Salatiga, sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
b)        Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang seperti yang dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub b KUHAP.
Majelis Hakim telah keliru dalam pertimbangannya menilai kewenangan penyidikan  yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian dari Polda Jawa Tengah sehingga perbuatan terdakwa dalam mengolah olie bekas tidak dapat diterapkan dalam pasal 43 ayat 1 UU No.23 tahun 1997 yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kekeliruan dari Majelis Hakim terlihat dari penafsiran suatu peraturan secara formal saja, tetapi secara materiil keliru kebenarannya yaitu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Setelah penulis kemukakan data tentang putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang  Nomor. 100/Pid/B/200/PN Smg, maka penulis mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor. 100/Pid/B/200/PN Smg tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya ketentuan pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang antara lain berisi :
Segala putusan harus memuat alasan dan dasar putusan, alasan yang dikemukakan oleh Pengadilan Negeri Semarang dalam menjatuhkan putusan kurang lengkap, hal ini dikatakan demikian oleh karena Majelis Hakim Pengadilan Semarang tidak memperhatikan fakta-fakta yang terjadi dilapangan khususnya adanya pencemaran terhadap tanah yang berada di dekat lokasi pengolahan olie.
Selanjutnya putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang Nomor. 100/Pid/B/PN Smg tersebut apabila dikaji dari pendapat Moljatno bahwa putusan hakim harus memuat motivering (pernyataan singkat yang di pakai untuk menjatuhkan putusan).  Sebenarnya putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang telah merumuskan tentang hal ini, hanya saja perumusan yang dikemukakan kurang sempurna.
Putusan hakim hendaknya mengemukakan mengenai alasan terdakwa melakukan tindak pidana, dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang tidak tampak adanya uraian mengenai hal ini.
Kemudian apabila putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang  Nomor. 100/Pid/B/PN Smg tersebut apabila ditinjau dari sinkronisasi antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim, maka dapat dikatakan ketiadaan sinkronisasi antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim berupa pidana penjara selama 2 tahun. Setelah penuntut umum mempertimbangkan keterangan terdakwa, keterangan para saksi dalam persidangan dapat dikatakan pula putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yaitu kurangnya kemampuan hakim mengenai hukum lingkungan. Disamping itu juga kurang menguasai pemahaman kasus dan kurang menguasai taktik pembuktian di depan persidangan.

-       Dasar Pertimbangan serta Putusan Mahkamah Agung dalam Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup sebagai Pembatalan atas Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 100/Pid/B/2000/PN Smg.
Setelah membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 17 Mei 2000 yang isinya adalah sebagai berikut :
Supaya Majelis Hakim  Pengadilan  Negeri  Semarang  yang  memeriksa  dan  mengadili perkara ini memutuskan :
1.    Menyatakan terdakwa Suharno Wiyono, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan  Tindak  Pidana Pencemaran  Lingkungan  Hidup sebagaimana  dimaksud dalam surat dakwaan melanggar Pasal 43 ayat (1) UU no. 23 tahun 1997 jo Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1999 jo Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.05.P/34/M.PE/1998;
2.    Menjatuhkan  pidana terhadap terhadap terdakwa Suharno  Wiyono, dengan  pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan perintah supaya ditahan.
3.    Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa Suharno Wiyono sebesar Rp1.000.000,-  dengan ketentuan bahwa apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan pengganti denda selama 2 (dua) bulan.
4.    Menyatakan barang bukti berupa :
a.         9 (sembilan) drum olie olahan bening;
b.        23 (dua puluh tiga) drum olie bekas;
c.         2 (dua) jirigen olie palsu;
d.        1 (satu) bak pemanas;
e.         1 (satu) alat pres.
5.    Menetapkan supaya terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).
Dengan memperhatikan pasal 191 (2), (3) KUHAP terdakwa telah dibebaskan dari semua dakwaan seperti tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1.        Menyatakan Suharno Wiyono tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup.
2.        Membebaskan terdakwa tersebut di atas dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
3.        Membebankan biaya perkara kepada negara.
4.        Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi No. 06/Kasasi/2000/PN.Smg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Semarang yang menerangkan bahwa pada tanggal 31 Mei 2000 Jaksa pada Kejaksaan Negeri di Semarang telah mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut;
Menimbang bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut :
a.         Bahwa putusan Hakim Majelis Pengadilan Negeri Semarang yang membebaskan terdakwa dari dakwaan bukan merupakan pembebasan murni. Oleh karena Majelis Hakim telah salah menafsirkan hukum pembuktian yang benar dan putusan Pengadilan Negeri Semarang  tersebut seharusnya berbunyi Onslag Van Rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum), tetapi oleh hakim Majelis dibuat sebagai putusan Vrijspraak dengan pertimbangan hukumnya berbunyi :
1.    Bahwa terdakwa dalam melakukan pengolahan olie bekas menjadi olie bening sudah berhenti sejak April 1999 sampai sekarang.
2.    Bahwa sesuai dengan berkas perkara yang diajukan dari Kepolisian sampai diajukannya terdakwa ke persidangan, karena terdakwa tertangkap tangan melakukan pengolahan olie bekas dengan barang bukti 9 (sembilan) drum olie bekas, 2 (dua) olie palsu, 1 (satu) bak pemanas dan 1 (satu) alat pres.
b.        Bahwa dari pertimbangan Majelis Hakim tersebut telah terungkap secara nyata adanya suatu perbuatan dari terdakwa yang secara nyata mengolah olie bekas karena tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian sejak tanggal 26 April 1999 dengan demikian telah nyata terdakwa dalam mengolah olie bekas tersebut telah melanggar ketentuan dalam PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (Limbah B.3) yang mengharuskan karena olie bekas merupakan Limbah B.3 dan Bahan Pencemar dengan kode D.1005.d,   maka dalam pengolahannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 sub b haruslah dilakukan secara thernal, stabilasi, solidifikasi dan cara lainnya sesuai perkembangan teknologi serta lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan industri, dan secara nyata terdakwa mengolah olie bekas tersebut, tidak memenuhi ketentuan dalam PP No. 18 tahun 1999.
c.         Bahwa tertangkap tangannya terdakwa dalam mengolah olie bekas oleh petugas dari Kepolisian, disamping tidak memenuhi ketentuan dari PP No. 18 Tahun 1999, juga tidak  memenuhi  ketentuan  dari  Peraturan  Menteri  Pertambangan  dan  Energi  No.05.P/34/M.PE/1998  tentang  Tata  Cara  Penyediaan  dan  Pelayanan  Pelumas  bekas serta Pemanfaatan Pelumas Bekas Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan pengolahan olie bekas haruslah ada ijin dari Menteri yang dilengkapi penyajian informasi dan rekomendasi dari Pertamina, dan oleh karena perbuatan terdakwa   mencakup pengolahan olie bekas tanpa ijin dan limbahnya dibuang begitu saja dekat rumah, maka terdakwa jelas melanggar pasal 20 ayat (1) dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian jelas seharusnya Majelis Hakim membenarkan bahwa perbuatan terdakwa dalam mengolah olie bekas tersebut di atas telah  melanggar   ketentuan/tidak   memenuhi   ketentuan   sebagaimana   yang  telah diuraikan di atas.
d.        Bahwa Majelis Hakim telah salah menafsirkan ketentuan dari Pasal 55 (1) (2) dari PP No. 18 Tahun 1999, dimana  petugas  kepolisian  dalam  melakukan  penindakan terhadap terdakwa haruslah melaporkan kepada instansi yang berwenang (BAPEDAL).   Hal  ini  tidak  perlu  dilakukan   oleh  petugas   Kepolisian,   karena perbuatan terdakwa bukanlah suatu pelanggaran yang harus dilaporkan kepada BAPEDAL,  tetapi perbuatan  terdakwa  mengolah  olie bekas tersebut  adalah suatu kejahatan (Pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997) dan tertangkap tangannya terdakwa, maka adalah kewenangan penyidik (Pasal 7 (1) KUHAP dan Pasal 6 (1) KUHAP) untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan dan tanpa melaporkan terlebih dahulu kepada BAPEDAL dan hal ini juga tidak bertentangan dengan Pasal 40 (1) UU No. 23 Tahun 1997 yang juga memberikan kewenangan bagi penyidik Kepolisian, disamping penyidik PPNS.
Bahwa dengan demikian sesuai Pasal 191 ayat 2 KUHAP seharusnya putusan Pengadilan  Negeri  Semarang  berbunyi  melepaskan  terdakwa  dari tuntutan  hukum (Onstlag Van Rechtvervolging), bukannya “membebaskan terdakwa dari segala dakwaan”  Hal  ini  menyebabkan  putusan  Majelis  hakim tersebut  menjadi  putusan bebas yang tidak murni.
Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi poin (a) sampai dengan poin (d) dapat dibenarkan, karena Pengadilan Negeri Semarang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a.    Bahwa Judex Factio telah keliru menafsirkan tentang siapa yang harus melaporkan tentang terjadinya pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan hidup.
b.    Bahwa oleh karena terdakwa telah tertangkap tangan (op heterdaad)  memalsukan olie, maka tidak lagi diperlukan laporan masyarakat.
c.    Bahwa perbuatan terdakwa mengolah olie bekas menjadi olie bening dan dipasarkan, jelas perbuatan tersebut menipu konsumen dan merugikan masyarakat, demikian pula tentang perbuatan terdakwa mengolah olie bekas menjadi olie bening tanpa ijin pihak yang berwenang jelas melanggar PP No. 18 Tahun 1999 dan melanggar pasal 20 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup.
d.   Bahwa adanya fakta terdakwa telah tertangkap membuat olie palsu maka hal tersebut tidak perlu lagi dilaporkan ke BAPEDAL, karena sesuai dengan ketentuan KUHAP Polisi adalah penyidik tunggal dan jika dilaporkan ke BAPEDAL pun hasil penyidikan dari PPNS tersebut  menurut  ketentuan  Pasal 107  KUHAP harus pula diserahkan kepada Polisi, setelah itu baru kemudian diserahkan ke Penuntut Umum oleh Polri untuk proses hukum selanjutnya.
e.    Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Mahkamah Agung berpendapat terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Oleh sebab itu kepada terdakwa tersebut harus dijatuhi hukuman.
Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan hukuman perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal  yang  memberatkan  dan  meringankan  sebagai berikut :
1.        Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa tidak hanya dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, tetapi tidak menutup kemungkinan juga mengakibatkan gangguan kesehatan.
2.        Hal-hal yang meringankan :
a.         Terdakwa mengakui dengan terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya sidang.
b.         Terdakwa belum pernah dihukum.
c.         Terdakwa menyesali perbuatannya.
Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 25 Mei 2000 Nomor 100/Pid.B/PN.Smg tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum dapat dikabulkan, maka biaya perkara dalam semua tingkatan peradilan dibebankan kepada terdakwa;
Memperhatikan UU No. 14 tahun 1970, UU No. 8 tahun 1981 dan UU No. 14 tahun 1985;
Mengadili :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksanaan Negeri Semarang tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 25 Mei 2000 No.100/Pid.B/PN.Smg
Mengadili sendiri :
Menyatakan terdakwa Suharno Wiyono tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan Hidup”;
Menghukum terdakwa tersebut dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Memerintahkan barang bukti berupa :
-          9 (sembilan) drum olie olahan bening
-          23 (dua puluh tiga) drum olie bekas
-          2 (dua) jirigen olie palsu
-          1 (satu) bak pemanas
-          1 (satu) alat pres
dirampas untuk dimusnahkan;
Menghukum Termohon Kasasi/terdakwa  membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar