Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan
A.
Kronologis Kasus
Perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup Nomor.100/Pid/B/2000/PN Smg secara garis besar adalah sebagai berikut :
Bahwa terdakwa
Suharno Wiyono, pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi
sekitar pertengahan tahun 1996
sampai dengan tahun 1999, bertempat
tinggal di Jalan
Tlogosari (Arteri) Rt.05/Rw.IX No.232 Kelurahan Pedurungan
Tengah, Kecamatan Pedurungan Semarang atau setidak-tidaknya
pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Semarang, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang
berbahaya atau beracun yaitu
sisa olahan olie
bekas
tanpa ijin, masuk diatas atau kedalam tanah, kedalam udara atau kedalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan-bahan tersebut, menjalankan
instalasi yang
berbahaya, pada hal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup atau membahayakan keselamatan umum atau nyawa orang
lain,
dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
- Sebelum Terdakwa mengolah olie bekas yang termasuk limbah bahan berbahaya dan
beracun (limbah B.3), terlebih dahulu Terdakwa menyuruh karyawannya bernama Siswanto dan Sunar untuk mencari dan mengumpulkan olie bekas dengan membeli dari bengkel-bengkel kendaraan bermotor diwilayah Semarang ;
- Setelah olie bekas dapat terkumpul 2 hingga 4 drum dalam sehari, kemudian oleh terdakwa dipilih untuk bisa diproses menjadi olie bening ;
- Adapun cara terdakwa untuk memilih olie bekas dan selanjutnya dapat diproses menjadi olie bening yaitu olie bekas yang sudah ditampung dalam drum berukuran 18 kg,
dicampur dengan zat
kimia berupa air keras dengan perbandingan 10% untuk air kerasnya ;
- Selanjutnya olie bekas yang sudah dicampur dengan air keras, diendapkan selama 1×24 jam
dan setelah kotoran dari olie yang diendapkan dapat turun, oleh Terdakwa kemudian disaring dan dimasukkan
dalam drum yang telah tersedia terpisah dari kotoran olie bekas, sehingga menghasilkan olie bening ;
- Dari olie bekas menjadi olie bening, untuk proses berikutnya oleh Terdakwa dicampur dengan larutan brichingit (tepung kapur) dengan perbandingan untuk 200 liter olie bening campuran tepung kapurnya 50 kg dan setelah itu dimasak
atau diolah dalam waktu kurang lebih 6 jam ;
- Setelah olie yang sudah dicampur dengan tepung
kapur dimasak sampai
mendidih, kemudian disaring dengan mesin penyaring serta dimasukkan dalam drum yang telah tersedia dan siap dipasarkan ;
- Kemudian dari bekas atau sisa olahan olie bekas, sengaja atau tidak sengaja oleh Terdakwa dibuang disekitar rumahnya, sehingga warna tanah disekitarnya menjadi hitam ;
- Bahwa terdakwa dalam menyimpan dirumahnya
olie
bekas
yang merupakan limbah bahan
berbahaya dan
beracun serta kemudian mengolahnya
menjadi bening
dan kemudian hasilnya dipasarkan tersebut, sebelumnya sangat beralasan
untuk mengetahui atau menduga, akibat
dari perbuatannya tanah
disekitar pengolahan olie bekas atau disekitar rumahnya menjadi tidak
subur dan bahkan dapat membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain ;
B.
Dasar Hukum
Dasar hukumnya yaitu Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan mengenai Tindak
Pidana Lingkungan
Hidup pengaturannya dalam Pasal 41, 42, 43 dan Pasal 46.
a. Pasal 41
1) Barang siapa
yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah).
2) Jika tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku
tindak pidana diancam penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling
banyak Rp.750.000.000,- (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
b. Pasal 42
1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2) Jika tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku
tindak pidana diancam penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda
pidana paling banyak
Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
c. Pasal 43
1) Barangsiapa yang
dengan melanggar perundang-undangan yang
berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya tau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam pidana paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), barang
siapa yang dengan
sengaja memberikan informasi
palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang
diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan
umum atau nyawa orang lain.
3) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda.
d. Pasal 46
1) Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalan bab
ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana
dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut dan atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik
berdasar hubungan kerja ataupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan
sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik
berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus tempat tinggal mereka atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim
dapat memerintah supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
C.
Analisis Putusan
-
Dasar Pertimbangan Kejaksaan Negeri Semarang
Dalam Pengajuan Kasasi.
Pertimbangan-pertimbangan
yang dikemukakan dalam pengajuan kasasi tersebut/memori kasasi tersebut
didasarkan atas pertimbangan berikut ini :
Bahwa Pengadilan Negeri Semarang di Semarang
yang telah menjatuhkan putusan dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut,
telah melakukan kekeliruan yakni :
1.
Putusan Hakim Majelis Pengadilan Negeri
Semarang yang membebaskan terdakwa dari dakwaan bukan merupakan pembebasan
murni karena Putusan Pengadilan Negeri Semarang seharusnya berbunyi Onslag Van
Rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan), tetapi oleh Hakim Majelis dibuat
sebagai putusan Vrijapraak.
2.
Hal-hal yang ditemukan dalam putusan Hakim
Majelis yang ternyata telah menjatuhkan putusan pembebasan murni adalah karena
:
a. Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Semarang telah salah menafsirkan atau tidak menerapkan
hukum pembuktian secara benar yaitu Hakim Majelis hanya menggunakan penafsiran
suatu peraturan hukum secara formal saja dalam pertimbangannya, tetapi secara
material keliru kebenarannya. Kekeliruan Hakim Majelis dalam menafsirkan suatu
peraturan terlihat dalam putusannya yang berpendapat sebagai berikut :
1) Bahwa
pelanggaran terhadap UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
haruslah masyarakat yang melapor, sebagaimana pertimbangan dari Majelis Hakim
yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 55 (1) (2) PP No.18 Tahun 1999 dan UU
No.23 Tahun 1997 Pasal 37 (1) (2).
2) Bahwa
penyidikan terhadap pelanggaran masalah lingkungan hidup haruslah dilakukan
penyidik PPNS dari Kantor BAPEDAL dan seharusnya Kepolisian melaporkan tentang
kejadian perbuatan terdakwa kepada BAPEDAL untuk memberikan peringatan tertulis
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 62 (1) (2) dan Pasal 61 (1) dari PP. No. 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahaya dan Beracun.
3) Bahwa
keterangan saksi ahli dari BAPEDALDA Jawa Tengah tidak didukung hasil
laboratorium baik dari Polri maupun instansi lain.
b. Penafsiran
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang keliru tersebut yaitu:
1) Dalam
bunyi Pasal 55 (1) PP No.18 Tahun 1999, adanya kalimat “Setiap orang berhak
melaporkan adanya pencemaran lingkungan hidup” telah ditafsirkan oleh Majelis
Hakim, bahwa perbuatan terdakwa yang nyata-nyata telah mengolah olie bekas di
rumahnya sendiri tanpa dilengkapi suatu ijin bagi pengolahan maupun pembuangan
dari limbahnya, haruslah ada laporan dari masyarakat mengenai adanya
pencemarannya dan penafsiran yang demikian tidaklah benar, karena kalimat
berhak dalam Pasal 55 PP No. 18 Tahun 199, tidak berarti bahwa perbuatan terdakwa
yang nyata-nyata mengolah olie bekas sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 yang hanya mencari keuntungan
pribadi tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan hidup, harus ada laporan
dari masyarakat, karena dalam Pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997, perbuatan terdakwa
tersebut bukanlah suatu pelanggaran sebagaimana ditafsirkan Majelis Hakim dalam
pertimbangannya. Bahwa karena perbuatan terdakwa mengolah olie bekas adalah
tindak pidana kejahatan maka tanpa harus ada laporan dari masyarakat sesuai
Pasal 7 (1) KUHAP, Kepolisian dapat melakukan penyidikan serta ditegaskan dalam
Pasal 40 ayat 1 UU No.23 Tahun 1997.
2) Bahwa
dalam bunyi Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 yang menjadi dasar pendapat dari
Majelis Hakim dalam penafsirannya bahwa penyidikan terhadap pelanggaran masalah
lingkungan hidup haruslah PPNS dari Kantor BAPEDAL, merupakan suatu penafsiran
yang keliru, karena ketentuan Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 tentang sanksi
adalah diperuntukkan bagi setiap orang dan/atau badan usaha yang sebelum
melakukan usahanya atau kegiatannya baik sebagai penghasil, pengumpul,
pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B.3 termasuk olie bekas, telah
terpenuhi adanya suatu ijin dari instansi yang berwenang dan hanya dalam
pelaksanaan kegiatan usahanya telah melanggar ketentuan dari pasal-pasal yang
ditentukan dalam Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999 dan instansi yang berwenang
dari BAPEDAL dan apabila dalam waktu 15 hari sanksi tertulis yang diberikan
oleh yang berwenang yaitu BAPEDAL tidak diindahkan, maka ijin usaha atau
kegiatannya baik bagi penghasil, pengolah, pemanfaat limbah B.3, dapat dicabut
sebagaimana bunyi Pasal 62 (2) PP No. 18 Tahun 1999 dan bukan untuk perbuatan
terdakwa yang tanpa dilengkapi suatu ijin serta baru berhenti mengolah olie
bekas sejak tahun 1999, karena ketahuan oleh pihak Kepolisian.
Bahwa
Majelis Hakim tidak akan keliru menafsirkan ketentuan Pasal 62 (1) PP No. 18
Tahun 1999, apabila dengan cermat dan teliti memperhatikan bunyi Pasal 62 (2)
PP No. 18 Tahun 1999 yang telah menyebutkan dengan tegas bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam sanksi yang ditentukan
Pasal 62 (1) PP No. 18 Tahun 1999, dapat dicabut ijin usahanya.
Disamping
itu Majelis Hakim dalam menafsirkan ketentuan dalam Pasal 64 (1) PP No. 18
Tahun 1999, tidak akan keliru apabila mencermati secara keseluruhan dari bunyi
Pasal 64 (1) tersebut, karena Pasal 64 (1) terkait erat dengan Pasal 62 (1) (2)
PP No. 18 Tahun 1999 yang artinya apabila pada saat mulai berlakunya PP No. 18
Tahun 1999, setiap orang atau badan usaha baik sebagai penghasil, pengolah,
pemanfaat maupun penimbun limbah B.3 yang telah memiliki ijin dalam usahanya,
tetapi dalam kegiatannya melanggar ketentuan-ketentuan dari syarat-syarat ijin
yang diberikan, maka setiap orang atau badan usaha wajib melakukan pembersihan
dalam waktu 1 tahun.
Bahwa
ketentuan yang terkandung dalam Pasal 64
(1) PP No. 18 Tahun 1999 tidak benar atau keliru, apabila Majelis Hakim
menafsirkan dalam pertimbangannya,
memasukkan perbuatan terdakwa yang sudah sejak semula dengan sengaja
tanpa suatu ijin baik mengenai pengolahan olie bekas maupun pembuangan sisa
olahan olie bekas yang termasuk dalam limbah B.3, diklasifikasikan melanggar ketentuan Pasal 64 (1) PP No. 18
Tahun 1999 tidak berdiri sendiri dalam penafsirannya, tetapi terkait erat dengan Pasal 62 (1) (2)
sebagaimana telah diuraikan di atas.
3) Bahwa
tidak dapat diterapkannya ketentuan dari Pasal 43 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997
sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap perbuatan terdakwa berdasarkan
pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya, karena keterangan saksi ahli tidak
didukung oleh hasil laboratorium, karena dalam
Pasal 7 (1) PP No. 18 Tahun 1999 telah disebutkan pembagian jenis limbah
B.3 menurut sumbernya dan nyata-nyata dalam PP No. 18 Tahun 1999 olie bekas
termasuk suatu limbah B.3 dari sumber yang tidak spesifik dengan kode D. 1005.d
serta disebutkan dalam lampiran PP No. 18 Tahun 1999 sebagai bahan pencemar.
Karena
oli bekas termasuk limbah B.3 sebagai bahan pencemar, maka penafsiran Majelis
Hakim tidak akan keliru apabila dikaitkan dengan ketentuan umum Pasal 1 ke-17
dan ke-18 UU No. 23 Tahun 1997 yang dengan tegas dan jelas memberikan
pengertian Limbah B.3 dan B.3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang secara
langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan lingkungan hidup, maka Pasal 43
ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 bukan seharusnya tidak dapat diterapkan terhadap
perbuatan terdakwa sebagaimana yang ditafsirkan Majelis Hakim dalam
pertimbangannya untuk menjatuhkan putusannya yang bebas murni.
Kekeliruan
Majelis Hakim dalam menafsirkan suatu peraturan sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, karena Majelis Hakim juga tidak menggunakan alat bukti yang
lain, baik berupa keterangan terdakwa, saksi maupun bukti petunjuk serta surat.
3. Bahwa
Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya berpendapat sebagai berikut :
a) Bahwa
terdakwa dalam melakukan pengolahan olie bekas menjadi olie bening sudah
berhenti sejak April 1999 sampai sekarang.
b) Bahwa
sesuai perkara yang diajukan dari Kepolisian sampai diajukannya terdakwa ke
persidangan, karena terdakwa tertangkap tangan melakukan pengolahan olie bekas
dengan barang bukti 9 (sembilan) drum olahan olie bening siap pasar, 23 (dua
puluh tiga) drum olie bekas, 2 (dua) jirigen olie palsu, 1 (satu) bak pemanas
dan 1 (satu) alat pres.
c) Bahwa
pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
haruslah masyarakat yang melapor.
Dari
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut telah terungkap
secara nyata :
1. Adanya
suatu perbuatan dari terdakwa yang secara nyata mengolah olie bekas menjadi olie bening yang dilakukan sejak
tahun 1997 sampai terhentinya terdakwa mengolah olie bekas karena tertangkap
tangan oleh petugas Kepolisian sejak tanggal 26 April 1999. Bahwa perbuatan
terdakwa yang tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian, karena nyata-nyata
terdakwa dalam mengolah olie bekas telah melanggar ketentuan dalam PP No. 18
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (Limbah B.3) yang
mengharuskan karena olie bekas merupakan Limbah B.3 dan bahan pencemar dengan
kode D.1005.d, maka dalam pengolahannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34
ayat 1 dan 2 sub b haruslah dilakukan secara thernal, stabilasi, solidifikasi
dan cara lainnya sesuai perkembangan teknologi serta lokasi yang ditetapkan
sebagai kawasan industri, dan secara nyata terdakwa mengolah olie bekas
tersebut, tidak memenuhi ketentuan dalam PP No. 18 Tahun 1999.
Bahwa
tertangkap tangannya terdakwa dalam mengolah olie bekas oleh petugas dari
Kepolisian, disamping tidak memenuhi ketentuan dari PP No. 18 Tahun 1999, juga
tidak memenuhi ketentuan dari Peraturan Menteri Pertambangan dan EnergiNo.05.P/34/M.PE/1988
tentang Tata Cara Penyediaan dan Pelayanan Pelumas Bekas serta Pemanfaatan
Pelumas Bekas. Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan pengolahan olie bekas haruslah
ada ijin dari Menteri yang dilengkapi penyajian informasi dan rekomendasi dari
Pertamina. Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, karena pengolahan olie bekas yang dilakukan oleh terdakwa merupakan
rangkaian kegiatan yang tidak hanya mencakup pengolahan saja tetapi juga
pembuangan sisa dari olahan olie bekas yang termasuk Limbah B.3, maka untuk
pembuangannya tidak begitu saja yang oleh terdakwa dibuang di sekitar pengolahan
olie bekas dirumahnya, tetapi harus memenuhi suatu ijin sebagaimana disyaratkan
dalam pasal 20 ayat (1) dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Sehingga dengan demikian Majelis Hakim membenarkan perbuatan
terdakwa yang mengolah olie bekas yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
yang telah diuraikan di atas.
2. Bahwa
adanya keharusan laporan dari masyarakat yang didasarkan Pasal 55 (1) (2) dari
PP No. 18 Tahun 1999 oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya terhadap
pelanggaran UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena
Majelis Hakim telah salah menafsirkan ketentuan dari bunyi Pasal 55 (1) (2) PP
No. 18 Tahun 1999. Bahwa adanya kalimat “setiap orang berhak melaporkan adanya
pencemaran lingkungan hidup”, bukanlah berarti tanpa adanya laporan dari
masyarakat terhadap perbuatan terdakwa yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan sebagaimana uraian dalam
point 1) di atas, tidak dapat dilakukan penindakan oleh Petugas Kepolisian.
Bahwa petugas Kepolisian dapat melakukan penindakan sebagaimana laporan Polisi
tanggal 26 April 1999 serta melakukan
penyidikan dan tidak melaporkan kepada BAPEDAL sebagai instansi yang
berwenang menerima laporan dari masyarakat (Pasal 55 (2) PP No. 18 Tahun 1999),
karena perbuatan terdakwa bukanlah suatu pelanggaran yang harus dilaporkan
kepada BAPEDAL, karena terdakwa telah
melanggar ijin yang ditentukan oleh BAPEDAL. Perbuatan terdakwa yang telah
mengolah olie bekas di rumahnya sendiri yang nyata-nyata bertentangan dengan
point 1) uraian di atas, adalah suatu kejahatan (pasal 48 UU No. 23 Tahun
1997). Karena perbuatan terdakwa suatu kejahatan dengan demikian tertangkap
tangannya terdakwa mengolah olie bekas, sesuai kewenangan yang ada dalam Pasal
7 (1) KUHAP dan Pasal 6 (1) KUHAP, maka penyidik Kepolisian berhak untuk
melakukan pemeriksaan atau penyidikan dan tidak harus melaporkan kepada BAPEDAL
terlebih dahulu. Bahwa kewenangan penyidik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7
(1) KUHAP, juga tidak bertentangan dengan Pasal 40 (1) UU No. 23 Tahun 1997
yang juga memberikan kewenangan bagi penyidik Kepolisian, disamping penyidik
PPNS.
Bahwa
berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sesuai Pasal 191 ayat 2 KUHAP
seharusnya putusan Pengadilan Negeri Semarang berbunyi melepaskan terdakwa dari
tuntutan hukum (Onstlag Van Rechtvervolging) bukannya “membebaskan
terdakwa dari segala dakwaan” Hal
ini menyebabkan putusan Majelis Hakim tersebut menjadi putusan bebas yang tidak
murni.
Setelah
kami buktikan putusan Pengadilan Negeri Semarang dapat diminta pemeriksaan
kasasi dengan alasan-alasan sebagai dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub a dan b
KUHAP, yaitu:
a) Majelis Hakim
tidak menerapkan atau menetapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya
seperti yang dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub a KUHAP yaitu :
1. Putusan
Majelis Hakim tidak memenuhi ketentuan pasal 197 ayat 1 sub b KUHAP bahwa
putusan Majelis Hakim dalam pertimbangannya tidak memuat keseluruhan fakta-fakta
yang terungkap dipersidangan, tetapi hanya mendasarkan pertimbangnya pada suatu
peraturan formal saja, tetapi secara material dalam penerapannya keliru kebenarannya sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas.
2. Pasal
197 ayat 1 sub d KUHAP tersebut menggariskan tentang kewajiban Hakim untuk
menyusun secara ringkas mengenai fakta-fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa. Dalam pertimbangan Majelis Hakim telah mengesampingkan :
1)
Keterangan para saksi
a. Siswanto
Bin Iskam, menerangkan benar telah bertugas sebagai pencari olie bekas dari
bengkel di wilayah Semarang dan 1 hari dapat terkumpul 1 sampai 3 drum serta
menyetorkan kepada terdakwa.
b. Soegiarto
Bin Nanang, menerangkan benar datang ke rumah terdakwa dan membau proses
pengolahan olie bekas seperti bau olie gosong dan sangit serta pernah membeli
olie bekas yang sudah diolah sejak tahun 1996.
c. Rusmin
Bin Tarno, menerangkan bahwa tugasnya sebagai pekerja di rumah terdakwa adalah
mengolah olie bekas dan dalam mengolah olie bekas juga dicampur dengan tepung
kafe serta air keras untuk mengendapkan kotoran olie bekas sebelum dimasak dan
untuk pembuangan sisa olahan olie bekas dengan membuat lubangan di sekitar
buangan limbah olie
bekas sehingga rumput
di sekitar buangan
olie bekas tidak bisa tumbuh
serta tanah di sekitar tempat pengolahan olie bekas menjadi hitam.
d. Yudia
Pranata menerangkan benar pernah memberikan surat tugas kepada terdakwa
untuk mengumpulkan olie
bekas serta menyetorkan kepada saksi
guna penanggulangan limbah olie bekas. Dan saksi yang usahanya sebagai
pengumpul olie bekas dilengkapi dengan ijin dari BAPEDAL serta saksi juga tidak
sembarangan dalam usahanya sebagai pengumpul olie bekas, terutama terhadap
tumpahan olie bekas di sekitar tempat
usahanya agar ketentuan-ketentuan mengenai Amdal dapat terjaga.
e. Ir.
Eliana Sr Moerniati yang diajukan sebagai saksi ahli dari BAPEDALDA,
menerangkan :
Bahwa
jabatan saksi di BAPEDALDA Tk. I Jawa Tengah adalah sebagai Kasi Pengawasan dan
Pengendalian Pencemaran Tanah dan Udara.
Bahwa
benar bahwa olie bekas merupakan suatu Limbah B.3 dan merupakan bahan pencemar
serta dalam PP No. 18 tahun 1999 tercantum dengan kode D.1005.d.
Bahwa benar
olie bekas yang
merupakan Limbah B.3
secara langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan hidup karena didalam olie bekas sudah terkandung zat kimia yaitu
Plumbun (Pb) yang mempunyai sifat tidak dapat terurai dengan zat-zat lain.
Bahwa benar
air keras juga
merupakan bahan berbahaya
dan beracun (B.3) yang juga dapat
mencemari lingkungan hidup dan bahkan kesehatan manusia.
2)
Keterangan terdakwa Suharto Wiyono, yang
menerangkan :
a. Bahwa benar
telah mengolah olie bekas di rumahnya sendiri di Jl. Tlogosari
(Arteri) No.232 Semarang
sejak tahun 1997
sampai tahun 1999, karena
tertangkap tangan oleh petugas Kepolisian Polda Jateng.
b. Bahwa
dalam mengolah olie bekas dan membuang sisa olahan olie bekas tidak dilengkapi
dengan ijin serta dalam mengolah olie bekas dalam sehari-hari dapat
menghasilkan 2 (dua) drum olie bening.
c. Terdakwa
membenarkan telah menyimpang dari surat tugas yang diberikan oleh PT. Sendang
Lumas Amarta Salatiga dengan direkturnya saksi Yudia Pranata dengan maksud
untuk mencari keuntungan secara pribadi.
d. Bahwa
benar tanah di sekitar pembuangan olie bekas dan di sekitar pengolahan olie
bekas menjadi hitam serta tidak ada tanaman rumput yang tumbuh.
3)
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang
mengesampingkan bukti surat berupa surat tugas dari saksi Yudia Pranata selaku
Direktur PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga No. 001/ST/SLA/V/1998 tanggal
10-12-1998 yang hanya memberikan tugas bagi terdakwa sebagai pengumpul olie
bekas di wilayah Semarang serta menyerahkan kepada PT. Sendang Lumas Amarta
Salatiga serta diakui kebenarannya oleh terdakwa. Bahwa dari surat tugas yang
diberikan PT. Sendang Lumas Amarta Salatiga dikaitkan dengan perbuatan terdakwa yang sudah mengolah olie bekas sejak
tahun 1997, terlihat adanya kesengajaan dari terdakwa untuk menghindari adanya
suatu ijin baik pengolahan maupun
pembuangan sisa olahan olie bekas hanya untuk mencari keuntungan pribadi seolah-olah terdakwa dalam
mengolah olie bekas telah dilengkapi dengan surat ijin yang hanya berupa surat
tugas dari PT.Sendang Lumas Amarta Salatiga, sama sekali tidak dipertimbangkan
oleh Majelis Hakim.
b)
Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang-undang seperti yang dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 sub b
KUHAP.
Majelis
Hakim telah keliru dalam pertimbangannya menilai kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian dari
Polda Jawa Tengah sehingga perbuatan terdakwa dalam mengolah olie bekas tidak
dapat diterapkan dalam pasal 43 ayat 1 UU No.23 tahun 1997 yang telah
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kekeliruan dari Majelis Hakim terlihat dari
penafsiran suatu peraturan secara formal saja, tetapi secara materiil keliru kebenarannya
yaitu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Setelah
penulis kemukakan data tentang putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang Nomor. 100/Pid/B/200/PN Smg, maka penulis
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor.
100/Pid/B/200/PN Smg tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku,
khususnya ketentuan pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang antara lain berisi :
Segala putusan harus memuat alasan dan dasar
putusan, alasan yang dikemukakan oleh Pengadilan Negeri Semarang dalam
menjatuhkan putusan kurang lengkap, hal ini dikatakan demikian oleh karena
Majelis Hakim Pengadilan Semarang tidak memperhatikan fakta-fakta yang terjadi
dilapangan khususnya adanya pencemaran terhadap tanah yang berada di dekat
lokasi pengolahan olie.
Selanjutnya putusan Hakim Pengadilan Negeri
Semarang Nomor. 100/Pid/B/PN Smg tersebut apabila dikaji dari pendapat Moljatno
bahwa putusan hakim harus memuat motivering (pernyataan singkat yang di pakai
untuk menjatuhkan putusan). Sebenarnya
putusan Hakim Pengadilan Negeri Semarang telah merumuskan tentang hal ini,
hanya saja perumusan yang dikemukakan kurang sempurna.
Putusan hakim hendaknya mengemukakan mengenai
alasan terdakwa melakukan tindak pidana, dalam putusan Pengadilan Negeri
Semarang tidak tampak adanya uraian mengenai hal ini.
Kemudian apabila putusan Hakim Pengadilan
Negeri Semarang Nomor. 100/Pid/B/PN Smg
tersebut apabila ditinjau dari sinkronisasi antara tuntutan jaksa dengan
putusan hakim, maka dapat dikatakan ketiadaan sinkronisasi antara tuntutan
jaksa dengan putusan hakim berupa pidana penjara selama 2 tahun. Setelah penuntut
umum mempertimbangkan keterangan terdakwa, keterangan para saksi dalam
persidangan dapat dikatakan pula putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan
Negeri Semarang dalam tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yaitu kurangnya
kemampuan hakim mengenai hukum lingkungan. Disamping itu juga kurang menguasai
pemahaman kasus dan kurang menguasai taktik pembuktian di depan persidangan.
-
Dasar Pertimbangan serta Putusan Mahkamah Agung
dalam Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup sebagai Pembatalan atas Putusan
Pengadilan Negeri Semarang Nomor 100/Pid/B/2000/PN Smg.
Setelah membaca tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 17 Mei 2000 yang isinya adalah sebagai berikut :
Supaya Majelis Hakim
Pengadilan Negeri
Semarang
yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan terdakwa Suharno Wiyono, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Pencemaran
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
dalam surat dakwaan melanggar Pasal 43 ayat (1) UU no. 23 tahun 1997 jo
Peraturan
Pemerintah No.18 tahun 1999 jo Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.05.P/34/M.PE/1998;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terhadap terdakwa Suharno
Wiyono, dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan perintah supaya ditahan.
3. Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa Suharno Wiyono sebesar Rp1.000.000,- dengan
ketentuan
bahwa
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan pengganti denda selama 2 (dua) bulan.
4. Menyatakan barang bukti berupa :
a.
9 (sembilan) drum olie olahan bening;
b.
23 (dua puluh tiga) drum olie bekas;
c.
2 (dua) jirigen olie palsu;
d.
1 (satu) bak pemanas;
e.
1 (satu) alat pres.
5. Menetapkan supaya terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).
Dengan
memperhatikan pasal 191 (2), (3) KUHAP terdakwa telah dibebaskan dari semua
dakwaan seperti tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut yang
lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1.
Menyatakan Suharno Wiyono tersebut
diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana
Pencemaran Lingkungan Hidup.
2.
Membebaskan terdakwa tersebut di atas
dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
3.
Membebankan biaya perkara kepada
negara.
4.
Memulihkan hak terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Mengingat
akan akta tentang permohonan kasasi No. 06/Kasasi/2000/PN.Smg yang dibuat oleh
Panitera pada Pengadilan Negeri Semarang yang menerangkan bahwa pada tanggal 31
Mei 2000 Jaksa pada Kejaksaan Negeri di Semarang telah mengajukan permohonan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut;
Menimbang
bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya
adalah sebagai berikut :
a.
Bahwa putusan Hakim Majelis
Pengadilan Negeri Semarang yang membebaskan terdakwa dari dakwaan bukan
merupakan pembebasan murni. Oleh karena Majelis Hakim telah salah menafsirkan hukum
pembuktian yang benar dan putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut seharusnya berbunyi Onslag Van
Rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum), tetapi oleh hakim Majelis
dibuat sebagai putusan Vrijspraak dengan pertimbangan hukumnya berbunyi :
1. Bahwa
terdakwa dalam melakukan pengolahan olie bekas menjadi olie bening sudah
berhenti sejak April 1999 sampai sekarang.
2. Bahwa
sesuai dengan berkas perkara yang diajukan dari Kepolisian sampai diajukannya
terdakwa ke persidangan, karena terdakwa tertangkap tangan melakukan pengolahan
olie bekas dengan barang bukti 9 (sembilan) drum olie bekas, 2 (dua) olie
palsu, 1 (satu) bak pemanas dan 1 (satu) alat pres.
b.
Bahwa dari pertimbangan Majelis Hakim
tersebut telah terungkap secara nyata adanya suatu perbuatan dari terdakwa yang
secara nyata mengolah olie bekas karena tertangkap tangan oleh petugas
Kepolisian sejak tanggal 26 April 1999 dengan demikian telah nyata terdakwa
dalam mengolah olie bekas tersebut telah melanggar ketentuan dalam PP No. 18
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (Limbah B.3) yang
mengharuskan karena olie bekas merupakan Limbah B.3 dan Bahan Pencemar dengan
kode D.1005.d, maka dalam pengolahannya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 sub b haruslah dilakukan
secara thernal, stabilasi, solidifikasi dan cara lainnya sesuai perkembangan
teknologi serta lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan industri, dan secara
nyata terdakwa mengolah olie bekas tersebut, tidak memenuhi ketentuan dalam PP
No. 18 tahun 1999.
c.
Bahwa tertangkap tangannya terdakwa
dalam mengolah olie bekas oleh petugas dari Kepolisian, disamping tidak
memenuhi ketentuan dari PP No. 18 Tahun 1999, juga tidak memenuhi
ketentuan dari Peraturan
Menteri Pertambangan dan
Energi No.05.P/34/M.PE/1998 tentang
Tata Cara Penyediaan
dan Pelayanan Pelumas
bekas serta Pemanfaatan Pelumas Bekas Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan
pengolahan olie bekas haruslah ada ijin dari Menteri yang dilengkapi penyajian
informasi dan rekomendasi dari Pertamina, dan oleh karena perbuatan
terdakwa mencakup pengolahan olie bekas
tanpa ijin dan limbahnya dibuang begitu saja dekat rumah, maka terdakwa jelas
melanggar pasal 20 ayat (1) dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dengan demikian jelas seharusnya Majelis Hakim membenarkan
bahwa perbuatan terdakwa dalam mengolah olie bekas tersebut di atas telah melanggar
ketentuan/tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
d.
Bahwa Majelis Hakim telah salah menafsirkan
ketentuan dari Pasal 55 (1) (2) dari PP No. 18 Tahun 1999, dimana petugas
kepolisian dalam melakukan
penindakan terhadap terdakwa haruslah melaporkan kepada instansi yang
berwenang (BAPEDAL). Hal ini
tidak perlu dilakukan
oleh petugas Kepolisian,
karena perbuatan terdakwa bukanlah suatu pelanggaran yang harus
dilaporkan kepada BAPEDAL, tetapi
perbuatan terdakwa mengolah
olie bekas tersebut adalah suatu
kejahatan (Pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997) dan tertangkap tangannya terdakwa,
maka adalah kewenangan penyidik (Pasal 7 (1) KUHAP dan Pasal 6 (1) KUHAP) untuk
melakukan pemeriksaan atau penyidikan dan tanpa melaporkan terlebih dahulu
kepada BAPEDAL dan hal ini juga tidak bertentangan dengan Pasal 40 (1) UU No. 23
Tahun 1997 yang juga memberikan kewenangan bagi penyidik Kepolisian, disamping
penyidik PPNS.
Bahwa dengan demikian sesuai Pasal 191 ayat 2 KUHAP
seharusnya putusan Pengadilan
Negeri Semarang berbunyi
melepaskan terdakwa dari tuntutan
hukum (Onstlag Van Rechtvervolging), bukannya “membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan” Hal ini
menyebabkan putusan Majelis
hakim tersebut menjadi putusan bebas yang tidak murni.
Menimbang,
bahwa alasan-alasan kasasi poin (a) sampai dengan poin (d) dapat dibenarkan,
karena Pengadilan Negeri Semarang telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa
Judex Factio telah keliru menafsirkan tentang siapa yang harus melaporkan
tentang terjadinya pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan hidup.
b. Bahwa
oleh karena terdakwa telah tertangkap tangan (op heterdaad) memalsukan olie, maka tidak lagi diperlukan
laporan masyarakat.
c. Bahwa
perbuatan terdakwa mengolah olie bekas menjadi olie bening dan dipasarkan,
jelas perbuatan tersebut menipu konsumen dan merugikan masyarakat, demikian
pula tentang perbuatan terdakwa mengolah olie bekas menjadi olie bening tanpa
ijin pihak yang berwenang jelas melanggar PP No. 18 Tahun 1999 dan melanggar
pasal 20 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup.
d. Bahwa
adanya fakta terdakwa telah tertangkap membuat olie palsu maka hal tersebut
tidak perlu lagi dilaporkan ke BAPEDAL, karena sesuai dengan ketentuan KUHAP
Polisi adalah penyidik tunggal dan jika dilaporkan ke BAPEDAL pun hasil
penyidikan dari PPNS tersebut menurut ketentuan
Pasal 107 KUHAP harus pula
diserahkan kepada Polisi, setelah itu baru kemudian diserahkan ke Penuntut Umum
oleh Polri untuk proses hukum selanjutnya.
e. Bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Mahkamah Agung
berpendapat terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Oleh
sebab itu kepada terdakwa tersebut harus dijatuhi hukuman.
Menimbang,
bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan hukuman perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu hal-hal yang memberatkan
dan meringankan sebagai berikut :
1.
Hal-hal yang memberatkan :
Perbuatan terdakwa tidak hanya dapat mengakibatkan pencemaran
lingkungan hidup, tetapi tidak menutup kemungkinan juga mengakibatkan gangguan
kesehatan.
2.
Hal-hal yang meringankan :
a.
Terdakwa mengakui dengan terus terang
perbuatannya sehingga memperlancar jalannya sidang.
b.
Terdakwa belum pernah dihukum.
c.
Terdakwa menyesali perbuatannya.
Menimbang,
bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 25 Mei 2000 Nomor
100/Pid.B/PN.Smg tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus
dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti
tertera di bawah ini;
Menimbang,
bahwa oleh karena permohonan kasasi dari pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum
dapat dikabulkan, maka biaya perkara dalam semua tingkatan peradilan dibebankan
kepada terdakwa;
Memperhatikan
UU No. 14 tahun 1970, UU No. 8 tahun 1981 dan UU No. 14 tahun 1985;
Mengadili :
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksanaan
Negeri Semarang tersebut;
Membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 25 Mei 2000 No.100/Pid.B/PN.Smg
Mengadili sendiri :
Menyatakan
terdakwa Suharno Wiyono tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Pencemaran Lingkungan Hidup”;
Menghukum
terdakwa tersebut dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut
tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Memerintahkan
barang bukti berupa :
-
9 (sembilan) drum olie olahan bening
-
23 (dua puluh tiga) drum olie bekas
-
2 (dua) jirigen olie palsu
-
1 (satu) bak pemanas
-
1 (satu) alat pres
dirampas untuk
dimusnahkan;
Menghukum
Termohon Kasasi/terdakwa membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan
sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar