Minggu, 30 Oktober 2016

KEBEBASAN HAKIM



BAB I
PENDAHULUAN

1.    KEBEBASAN HAKIM
Sebenarnya pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsif rule of the law dalam praktiknya sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hakim lebih banyak menggunakan practical reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas saja (homo yuridicus), karena juga harus juga mendasari pada ethical principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan lainnya seperti keutamaan teological (homo religious).
Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang rasa keadilan yang dimilikinya.
Namun menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding). Dalam praktiknya banyak pencari keadilan dikorbankan oleh praktik   penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.
Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi.
Salah satu untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim ini dapat diketahui di dalam putusan Peninjauan Kembali atau (hierzening) di Mahkamah Agung. Dalam putusan PK, tidak heran dalam putusan tersebut terungkap bahwa :
1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang baru diketahui setelah vonis dijatuhkan ;
2) Putusan hakim dibuat atas dasar sejumlah bukti yang dikemudian hari ternyata palsu ;
3). Setelah perkara diputus, ditemukan bukti-bukti baru yang bisa mengubah putusan;
4). Vonis menjatuhkan hukuman melebihi atau di luar tuntutan ;
5). Dalam perkara yang sama ada putusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya ;
6). Hakim dalam putusannya jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang nyata ; Dll.

Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip ini telah menempatkan sang hakim sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

















BAB II
PEMBAHASAN


A. Pegangan Hakim Pada Prinsip Hukum Pembuktian
Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud.

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.
Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.

a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.
Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :
1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang diajukan terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang.
2)    Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
3)    Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra petita partium yang digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR ayat 3
b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada fakta-fakta yang mendukungnya.
1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam persidangan.
2) Fakta yang terungkap di luar persidangan.
3) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.

2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran.
Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas. Akan tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut :
a.    Pengakuan yang diberikan tanpa syarat.
Pengakuan yang berbobot mengakhiri perkara, apabila :
1) Pengakuan diberikan secara tegas
2) Pengakuan yang diberikan murni dan bulat

b. Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri.
Apabila tergugat tidak mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap berdiam diri peristiwa itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti pengakuan tanpa syarat, oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat dikonstruksi sebagai pengakuan murni dan bulat karena kategori pengakuan yang demikian harus dinyatakan secara tegas barulah sah dijadikan pengakuan yang murni tanpa syarat, sedangkan dalam keadaan diam tidak pasti dengan jelas apa saja yang diakui sehingga belum tuntas penyelesaian mengenai pokok perkara oleh karena itu, tidak sah menjadikannya dasar mengakhiri perkara.

c. Menyangkal tanpa alasan yang cukup.
Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak didukung  dengan dasar alasan ( opposition without basic reason ) dapat dikonstruksi dan dianggap sebagai pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat sehingga membebaskan pihak lawan untuk membuktikan fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses pemeriksaan perkara dapat diakhiri.

3. Fakta-fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.
Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim :
1. Teori hukum subyektif ( teori hak )
Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Teori hukum objektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.

3, Teori hukum acara dan Teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti. Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak :
1. Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.
2. Teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )
Pasal 306 RBg/169 HIR :
Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. “


Pasal 1905 KUHPerdata :
“ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. “
3. Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata )
Pasal 285 RBg/165 HIR :
“ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal 1870 KUHPerdata :
“ Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. “
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum pembuktian terdiri dari :
1. Pembuktian formil, mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam RBg/HIR.
2. Pembuktian materiil, mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.

B. Kebebasan Hakim Dalam Menilai Alat Bukti
alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. dalam praktek perdata misalnya dalam perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan, perwasiatan, pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan untuk keperluan pembuktian di kemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila satu ketika timbul sengketa atas perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya dengan akta yang bersangkutan. Atas kenyataan tersebut, dalam perkara perdata alat bukti yang dianggap paling dominan dan determinan adalah alat bukti tulisan atau surat.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan , maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut. Orang-orang tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung ( misalnya dalam perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain ) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang dipersengketakan tersebut.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Bila pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung karena pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik melainkan diperoleh dari kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi di persidangan.
Persangkaan, selain yang merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa yang dipersengketakan yang disebut dengan persangkaan hakim, ada pula yang merupakan ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim yang disebut juga dengan persangkaan undang-undang.
Adapun menurut KUHPerdata maupun RBg/HIR alat-alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas :
a. Bukti Tulisan atau Surat
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya. Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :
1. Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.

Akta ini dapat di bagi lagi ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.
a.    akta otentik
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :
“ akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Definisi ini tidak berbeda jauh dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan:
“ suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. “
Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat ( acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta partai ( acte partij ).
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru sita, dan polisi. Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.
                         
b.akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867 No. 29, tidak dalam HIR. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg.
Dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :
“ dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. “
Pasal 1874 KUHPerdata, menyebutkan :
“ sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. “
Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa surat-surat, daftar ( register ), catatan mengenai rumah tangga, dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam pengertian akta di bawah tangan. Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum. Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
2. Tulisan bukan akta.
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.

b. Bukti dengan saksi-saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata. Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22 KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis ( Pasal 258 KUHD).
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi;
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c.  Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian.
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter, advokat dan notaris.

c. Persangkaan-persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.
Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Persangkaan atas dasar kenyataan ( feitelijke/rechtelijke vermoedens atau praesumptiones facti )
Dalam hal ini hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian. Misalnya, persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan. Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri, tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.
2. Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang ( wettelijke/rechtsvermoedens atau praesumptiones juris )  
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.59 Persangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :
a. praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b. praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
d. Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
Pengakuan dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di dalam sidang pengadilan ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926 KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.  
Sedangkan, pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927 dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.

e. Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam :
1.  Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah decissoir );
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak yakni :
a. sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan
b sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).
Kedua macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah mengucapkan sumpah baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah diucapkan. Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lain untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.
f. Pemeriksaan setempat
Hakim terutama pada Pengadilan Negeri sebagai judex facti harus memeriksa fakta-fakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya, sehingga ia mengetahui dengan jelas segala seluk beluknya, dengan itu ia akan dapat mempertimbangkan sebaik baiknya dan memberikan putusan yang seadil-adilnya, menurut peraturan hukum yang berlaku. Akan tetapi, untuk mengetahui dengan jelas segala seluk-beluk suatu perkara kadang kala bukanlah merupakan hal yang mudah, apalagi bila keterangan yang disampaikan pihak-pihak yang berperkara bertentangan satu sama lain.
Selain itu, terhadap satu keadaan kadang kala tidak bisa atau tidak begitu mudah dijelaskan secara lisan ataupun tulisan, bahkan dengan gambar atau sketsa sekalipun, sedangkan untuk membawa objek yang ingin dijelaskan tersebut ke depan persidangan tidak mungkin, misalnya benda-benda tetap. Dalam keadaan yang demikian maka untuk mengetahui keadaan-keadaan atau fakta-fakta dari perkara tersebut dengan sebaik-baiknya perlu dilakukan pemeriksaan setempat. Dengan melakukan pemeriksaan setempat hakim dapat melihat atau mengetahui secara langsung bagaimana keadaan atau fakta-fakta dari suatu perkara. Suatu pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan adanya alasan :
1.      selisih atau perbedaan batas-batas tanah yang disengketakan oleh penggugat maupun tergugat,
2.      letak suatu bangunan yang disengketakan,
3.      barang-barang yang sangat besar dan terletak di suatu tempat atau suatu bangunan, yang sulit di bawa ke depan persidangan,
4.      suatu kerugian yang timbul akibat perbuatan salah satu pihak terhadap suatu bangunan.
Keadaan-keadaan tersebut tentu saja tidak dapat diketahui dalam sidang pengadilan kecuali diadakan pemeriksaan setempat terhadap barang-barang tersebut. Jadi, yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan hakim karena jabatannya di tempat objek perkara perdata. Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 180 RBg/153 HIR.
g. Keterangan ahli
Mengenai keterangan ahli diatur dalam Pasal 181 RBg/154 HIR yang menentukan jika menurut pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas bila dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, hakim dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli ini dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya tidak lain agar keterangan tersebut disampaikan seobjektif mungkin. Dari ketentuan Pasal 181 RBg/154 HIR ayat ( 2 ) dikatakan bahwa keterangan ahli dapat berbentuk tertulis maupun lisan yang dikuatkan dengan sumpah. Apa yang diterangkan oleh ahli bukan merupakan fakta-fakta atau hal-hal yang dilihat, dialami maupun yang didengarnya sendiri untuk itu hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya. Meskipun demikian, tidak berarti pendapat ahli akan begitu saja diabaikan oleh hakim, apalagi hal-hal yang menyangkut masalah nonhukum yang hanya diketahui oleh ahli dalam bidang tertentu.
























BAB III
KESIMPULAN

1. pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Didalam tugas dan peran hakim bersifat pasif Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat.
3.    Didalam putusan pembuktian fakta Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Dan pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasrkan dukungan fakta-fakta.
4.    Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
5.    Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti.
6.    Persangkaan, selain yang merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa yang dipersengketakan yang disebut dengan persangkaan hakim, ada pula yang merupakan ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim yang disebut juga dengan persangkaan undang-undang.
7.    Pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
8.    hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya, dan tidak berarti pendapat ahli akan begitu saja diabaikan oleh hakim.


Daftar pustaka

-       H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83.
-       Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 53.
-       R. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bandung, Bina Cipta, hlm. 85.
-       Teguh Samudra, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, Alumni, hlm. 9.
-       Achiel Suyanto, op.cit. hlm. 6.
-       R. Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 9.
-       M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 498.
-       A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj. ), PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hlm. 17.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar