BAB I
PENDAHULUAN
1.
KEBEBASAN
HAKIM
Sebenarnya pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan
memutus suatu perkara secara limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2)
UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat (3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Cuma prinsif rule of the law dalam praktiknya
sangat dipengaruhi pada cara, sifat, sikap dan suasana kebebasan para hakim
dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hakim lebih banyak menggunakan practical
reason yang erat hubungannya dengan latar belakang masing-masing hakim
bersangkutan. Apalagi dalam praktik, banyak hakim dalam kebebasannya memutus
perkara selalu dipengaruhi oleh beberapa atribut yang selalu menjadi kerangka
acuannya, antara lain hakim tidak bisa hanya berpegang pada prinsip legalitas
saja (homo yuridicus), karena juga harus juga mendasari pada ethical
principle atau keutamaan moral (homo ethicus) maupun keutamaan
lainnya seperti keutamaan teological (homo religious).
Sedang pemahaman tentang kebebasan hakim adalah, jika seorang
hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, bebas dalam menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, serta
bebas dari segala pengaruh pihak luar yang dapat merubah keyakinannya tentang
rasa keadilan yang dimilikinya.
Namun menurut Yahya Harahap makna kebebasan hakim
jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas, dengan menonjolkan sikap sombong
akan kekuasaannya (arrogance of power) dengan memperalat kebebasan
tersebut untuk menghalalkan segala cara. Namun kebebasan tersebut harus mengacu
pada penerapan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang
tepat dan benar, menafsirkan hukum dengan tepat melalui pendekatan yang
dibenarkan, dan kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum ( recht vinding).
Dalam praktiknya banyak pencari keadilan dikorbankan oleh praktik
penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami
makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan
melalui hakim-hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan
kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.
Hakim
semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau
menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah
menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan
yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan tetapi menurut selera dan
kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim
bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah
menyuapnya. Sedangkan bagi pihak yang telah dikalahkan, hakim tersebut cukup
menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan
putusan kami, silakan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi.
Salah satu untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan kebebasan
hakim ini dapat diketahui di dalam putusan Peninjauan Kembali atau (hierzening)
di Mahkamah Agung. Dalam putusan PK, tidak heran dalam putusan tersebut
terungkap bahwa :
1)
Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
baru diketahui setelah vonis dijatuhkan ;
2)
Putusan hakim dibuat atas dasar sejumlah bukti yang dikemudian hari ternyata
palsu ;
3).
Setelah perkara diputus, ditemukan bukti-bukti baru yang bisa mengubah putusan;
4).
Vonis menjatuhkan hukuman melebihi atau di luar tuntutan ;
5).
Dalam perkara yang sama ada putusan yang saling bertentangan antara satu dengan
lainnya ;
6).
Hakim dalam putusannya jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang nyata ; Dll.
Suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini, selalu
bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara. Kalau dilihat adanya prinsip hukum yang mengatakan, Res
Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap
benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip ini telah menempatkan sang hakim
sangat begitu penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh
karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim
sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan
Yang Maha Esa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pegangan Hakim Pada Prinsip Hukum Pembuktian
Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan
pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang
digariskan prinsip dimaksud.
1. Pembuktian Mencari dan
Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat
stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ),
seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran.
Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain
berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian,
kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond
reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan
bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai
sebagai kebenaran hakiki.
Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak
demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan
hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada dasarnya tidak
dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan
tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum
mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa
prinsip sebagai pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.
a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai
hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran
hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan
kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar
alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan
berlangsung. Sehubungan dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa
apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar, tetapi penggugat tidak
mampu mengajukan bukti tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus
menyingkirkan keyakinan itu dengan menolak kebenaran dalil gugatan, karena
tidak didukung dengan bukti dalam persidangan.
Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang
diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran
fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :
1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa
aktif meminta para pihak mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan.
Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti
yang diajukan terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak. Hakim tidak
dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan sesuatu, kecuali sepanjang
hal yang ditentukan undang-undang.
2) Menerima
setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para pihak di persidangan,
untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh hakim.
3) Pemeriksaan
dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan penggugat dalam
gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra vires atau ultra
petita partium yang digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR ayat 3
b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci
ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber
dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan
berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada
fakta-fakta yang mendukungnya.
1)
Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam persidangan.
2) Fakta yang terungkap di luar
persidangan.
3) Hanya fakta berdasar kenyataan
yang bernilai pembuktian.
2. Pengakuan Mengakhiri
Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah
satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok
perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok
yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai,
karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat
membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah
dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali
tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui
dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus
menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran.
Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan
pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.
Akan tetapi, agar penerapan pengakuan mengakhiri perkara tidak keliru, perlu
dijelaskan lebih lanjut beberapa hal antara lain sebagai berikut :
a. Pengakuan yang diberikan tanpa syarat.
Pengakuan
yang berbobot mengakhiri perkara, apabila :
1)
Pengakuan diberikan secara tegas
2)
Pengakuan yang diberikan murni dan bulat
b. Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri.
Apabila tergugat tidak mengajukan sangkalan tetapi mengambil sikap
berdiam diri peristiwa itu tidak dapat ditafsirkan menjadi fakta atau bukti
pengakuan tanpa syarat, oleh karena itu sikap tergugat tersebut tidak dapat
dikonstruksi sebagai pengakuan murni dan bulat karena kategori pengakuan yang
demikian harus dinyatakan secara tegas barulah sah dijadikan pengakuan yang
murni tanpa syarat, sedangkan dalam keadaan diam tidak pasti dengan jelas apa
saja yang diakui sehingga belum tuntas penyelesaian mengenai pokok perkara oleh
karena itu, tidak sah menjadikannya dasar mengakhiri perkara.
c. Menyangkal tanpa alasan yang cukup.
Dalam hal ini ada diajukan sangkalan atau bantahan tetapi tidak
didukung dengan dasar alasan (
opposition without basic reason ) dapat dikonstruksi dan dianggap sebagai
pengakuan yang murni dan bulat tanpa syarat sehingga membebaskan pihak lawan
untuk membuktikan fakta-fakta materi pokok perkara dengan demikian proses
pemeriksaan perkara dapat diakhiri.
3. Fakta-fakta yang Tidak
Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada
kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai
dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi
dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.
Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para
pihak bukan oleh hakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk
mengajukan alat-alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang
menjadi pedoman bagi hakim :
1.
Teori hukum subyektif ( teori hak )
Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku atau
mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.
Teori hukum objektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan
peraturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang
diajukan kepadanya.
3,
Teori hukum acara dan Teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya
berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Asas audi et alteram partem atau
juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan
asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim
harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga
kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk
menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain
merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti. Terdapat
3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh
para pihak :
1. Teori
pembuktian bebas
Teori ini menghendaki
kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim
tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan
oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang
luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung
jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh
oleh apapun dan oleh siapapun.
2. Teori
pembuktian negatif
Teori ini menginginkan
adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan
tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. ( Pasal
306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )
Pasal 306 RBg/169 HIR :
“ Keterangan seorang saksi
saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam
hukum. “
Pasal 1905 KUHPerdata :
“
Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan
tidak boleh dipercaya. “
3. Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah
kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285
RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata )
Pasal
285 RBg/165 HIR :
“ Akta otentik, yaitu suatu
surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat
umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak
daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga
tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal
1870 KUHPerdata :
“ Suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang dimuat didalamnya. “
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum
pembuktian terdiri dari :
1. Pembuktian formil, mengatur cara
bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam RBg/HIR.
2. Pembuktian materiil, mengatur dapat
tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan
serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.
B.
Kebebasan Hakim Dalam Menilai Alat Bukti
alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara perdata. dalam praktek perdata misalnya dalam perjanjian
jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penghibahan,
perwasiatan, pengangkutan, asuransi, dan sebagainya orang-orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut umumnya dengan sengaja membuat bentuk tulisan
untuk keperluan pembuktian di kemudian hari jika diperlukan, misalnya apabila
satu ketika timbul sengketa atas perbuatan tersebut maka dapat dibuktikan
permasalahan dan kebenarannya dengan akta yang bersangkutan. Atas kenyataan
tersebut, dalam perkara perdata alat bukti yang dianggap paling dominan dan
determinan adalah alat bukti tulisan atau surat.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan , maka pihak
yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan
tersebut. Orang-orang tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi.
Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan
sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung ( misalnya
dalam perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain ) dan ada pula
orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang
dipersengketakan tersebut.
Apabila tidak
mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri
peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan
peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang
harus dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu
kesimpulan. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya
peristiwa-peristiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Bila pembuktian
dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka
pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung karena
pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik melainkan diperoleh dari
kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi di persidangan.
Persangkaan,
selain yang merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa
yang dipersengketakan yang disebut dengan persangkaan hakim, ada pula yang merupakan ketentuan
undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh
hakim yang disebut juga dengan persangkaan
undang-undang.
Adapun menurut KUHPerdata maupun RBg/HIR alat-alat
bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas :
a. Bukti Tulisan atau Surat
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bukti tulisan dalam perkara
perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa
sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja
membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud
bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila
timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam
Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165
HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894
KUHPerdata. alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya.
Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda
bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang memuat
tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati,
maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan
bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta
di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :
1. Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu
tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu
peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang
penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk
membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk
keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap
surat dapat dikatakan sebagai akta.
Akta ini dapat di bagi lagi ke dalam akta otentik dan akta di bawah
tangan.
a.
akta otentik
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa :
“ akta otentik, yaitu suatu
surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat
umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari
padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang
yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang
tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Definisi ini tidak berbeda jauh dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan:
“ suatu akta otentik ialah
suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana
akta dibuatnya. “
Dari kedua defenisi di atas ternyata ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai umum atau pejabat
umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat oleh pegawai/pejabat umum sering disebut dengan akta pejabat (
acte ambtelijk ), sedangkan akta otentik yang dibuat di hadapan pegawai/pejabat umum sering
disebut dengan akta partai ( acte partij ).
Pejabat
yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai
pencatat perkawinan, dan lain sebagainya. Berita acara pemeriksaan suatu
perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan
dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita
acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi, merupakan akta-akta
otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang, yaitu panitera, juru
sita, dan polisi. Sedangkan akta jual-beli tanah di buat di hadapan camat atau
notaris merupakan akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum yang
berwenang selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.
b.akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan untuk Jawa dan Madura diatur dalam Stb. 1867
No. 29, tidak dalam HIR. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur
dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 RBg.
Dalam
Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg, dinyatakan :
“ dipandang sebagai akta di
bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang
ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. “
Pasal
1874 KUHPerdata, menyebutkan :
“ sebagai tulisan-tulisan
di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan,
surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain
tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. “
Demikian pula halnya Pasal 1 Stb. 1867 No. 29 menyatakan bahwa
surat-surat, daftar ( register ), catatan mengenai rumah tangga, dan
surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat, termasuk dalam
pengertian akta di bawah tangan. Jadi, akta di bawah tangan adalah akta yang
sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum.
Misalnya, kuitansi, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.
2. Tulisan bukan akta.
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan
bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.
Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang
bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari.
b. Bukti dengan saksi-saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam
hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai
dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR
sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal
1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata. Pembuktian dengan alat
bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139
HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain.
Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara para persero
firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22 KUHD ),
mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis
( Pasal 258 KUHD).
Hakim karena jabatannya
dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang
berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat didengar
sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan
Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat
didengar sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut
keturunan lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau
sehat.
Adapun alasan pembentuk
undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a. Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup
objektif apabila didengar sebagai saksi;
b. Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang
baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c. Untuk
mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian.
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak
sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang
dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah :
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta
ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus
dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan
atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya
tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan
jabatannya itu, misalnya dokter, advokat dan notaris.
c. Persangkaan-persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal
1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan
dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat
atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara
gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk
mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk
membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti
persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa
yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka
persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik
kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.
Persangkaan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Persangkaan atas dasar kenyataan ( feitelijke/rechtelijke
vermoedens atau praesumptiones facti )
Dalam hal ini hakimlah yang
memutuskan berdasarkan kenyataan, bahwa persangkaan tersebut terkait erat
dengan peristiwa lain sehingga dapat melahirkan pembuktian. Misalnya,
persangkaan hakim dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perzinahan.
Apabila seorang pria dengan seorang wanita dewasa yang bukan suami isteri,
tidur bersama dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka
perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.
2.
Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang ( wettelijke/rechtsvermoedens atau
praesumptiones juris )
Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara
peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.59 Persangkaan
berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :
a. praesumptiones juris tantum, yaitu
persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
b. praesumtiones juris et de
jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan.
d. Pengakuan
Pengakuan
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR,
Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak
lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa,
hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau
seluruhnya.
Pengakuan dapat
terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di dalam
sidang pengadilan ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926 KUHPerdata ),
pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam persidangan,
pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa pengakuan
tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.
Sedangkan,
pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927
dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar
persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
e. Sumpah
Alat bukti
sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai
dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan
Pasal 1945 KUHPerdata.
Dalam hukum acara perdata, alat
bukti sumpah ada dua macam :
1. Sumpah
oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan
putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah decissoir );
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan
kepada salah satu pihak yakni :
a.
sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan
b
sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).
Kedua macam sumpah tersebut bermaksud untuk
menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa
apabila salah satu pihak telah mengucapkan sumpah baik dalam sumpah penambah
atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti
lain untuk menguatkan sumpah yang telah diucapkan. Sehubungan dengan hal itu,
praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan apabila kedua belah pihak atau
hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lain untuk meneguhkan
keterangan-keterangan kedua belah pihak.
f. Pemeriksaan setempat
Hakim terutama pada Pengadilan Negeri sebagai judex facti harus
memeriksa fakta-fakta dari suatu perkara dengan sebaik-baiknya, sehingga ia
mengetahui dengan jelas segala seluk beluknya, dengan itu ia akan dapat
mempertimbangkan sebaik baiknya dan memberikan putusan yang seadil-adilnya,
menurut peraturan hukum yang berlaku. Akan tetapi, untuk mengetahui dengan
jelas segala seluk-beluk suatu perkara kadang kala bukanlah merupakan hal yang
mudah, apalagi bila keterangan yang disampaikan pihak-pihak yang berperkara
bertentangan satu sama lain.
Selain itu, terhadap satu keadaan kadang kala tidak bisa atau tidak
begitu mudah dijelaskan secara lisan ataupun tulisan, bahkan dengan gambar atau
sketsa sekalipun, sedangkan untuk membawa objek yang ingin dijelaskan tersebut
ke depan persidangan tidak mungkin, misalnya benda-benda tetap. Dalam keadaan
yang demikian maka untuk mengetahui keadaan-keadaan atau fakta-fakta dari
perkara tersebut dengan sebaik-baiknya perlu dilakukan pemeriksaan setempat.
Dengan melakukan pemeriksaan setempat hakim dapat melihat atau mengetahui
secara langsung bagaimana keadaan atau fakta-fakta dari suatu perkara. Suatu
pemeriksaan setempat dapat dilakukan dengan adanya alasan :
1. selisih atau perbedaan batas-batas tanah yang
disengketakan oleh penggugat maupun tergugat,
2. letak suatu bangunan yang disengketakan,
3. barang-barang yang sangat besar dan terletak di
suatu tempat atau suatu bangunan, yang sulit di bawa ke depan persidangan,
4. suatu kerugian yang timbul akibat perbuatan
salah satu pihak terhadap suatu bangunan.
Keadaan-keadaan tersebut tentu saja tidak dapat
diketahui dalam sidang pengadilan kecuali diadakan pemeriksaan setempat
terhadap barang-barang tersebut. Jadi, yang dimaksud dengan pemeriksaan
setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan-keadaan suatu
perkara yang dilakukan hakim karena jabatannya di tempat objek perkara perdata.
Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 180 RBg/153 HIR.
g. Keterangan ahli
Mengenai keterangan
ahli diatur dalam Pasal 181 RBg/154 HIR yang menentukan jika menurut
pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas bila dimintakan
keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan,
hakim dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai
sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli
ini dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya tidak lain agar keterangan tersebut
disampaikan seobjektif mungkin. Dari ketentuan Pasal 181 RBg/154 HIR ayat ( 2 )
dikatakan bahwa keterangan ahli dapat berbentuk tertulis maupun lisan yang
dikuatkan dengan sumpah. Apa yang diterangkan oleh ahli bukan merupakan
fakta-fakta atau hal-hal yang dilihat, dialami maupun yang didengarnya sendiri
untuk itu hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat
ahli itu berlawanan dengan keyakinannya. Meskipun demikian, tidak berarti
pendapat ahli akan begitu saja diabaikan oleh hakim, apalagi hal-hal yang
menyangkut masalah nonhukum yang hanya diketahui oleh ahli dalam bidang
tertentu.
BAB III
KESIMPULAN
1.
pengertian “kebebasan hakim” dalam mengadili dan memutus suatu perkara secara
limitatif telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Jo. Pasal 4 ayat
(3) Jo. Pasal 16 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Didalam tugas dan peran hakim
bersifat pasif Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai
hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat.
3. Didalam putusan pembuktian fakta Hakim
tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Dan pembuktian hanya dapat
ditegakkan berdasrkan dukungan fakta-fakta.
4.
Hakim
harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak,
dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara
seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
5. Sepanjang undang-undang tidak mengatur
sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai
pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim,
dan hanya judex facti.
6. Persangkaan, selain yang merupakan
kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari suatu peristiwa yang dipersengketakan
yang disebut dengan persangkaan hakim,
ada pula yang merupakan ketentuan undang-undang yang mengambil
kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim yang disebut juga
dengan persangkaan undang-undang.
7.
Pengakuan
merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
8.
hakim
tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan
dengan keyakinannya, dan tidak berarti pendapat ahli akan begitu saja diabaikan
oleh hakim.
Daftar
pustaka
- H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum
Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83.
- Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni,
Bandung, 1983, hlm. 53.
- R. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bandung,
Bina Cipta, hlm. 85.
- Teguh Samudra, 1992, Hukum Pembuktian dalam
Acara Perdata, Bandung, Alumni, hlm. 9.
- Achiel Suyanto, op.cit. hlm. 6.
- R. Subekti, Hukum Pembuktian, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 9.
- M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 498.
- A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.
), PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hlm. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar