KATA PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat-Nya kami
diberi kesehatan walafiat. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Makalah yang
berjudul “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”. Selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan juga untuk memberikan
pengetahuan bagi kami tentang “Ahlussunah Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn
Taimiyah)”.
Selesainya
makalah ini tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, baik itu dari dosen
pengampu ataupun pihak-pihak lainnya yang turut serta membantu terselesaikannya
makalah ini. Kami mengucapkan terimakasih karena mereka semualah kami mempunyai
motivasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini. gambaran
Kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat dan memberi pengetahuan dan mengenal “Ahlussunah
Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)”. Dalam makalah ini kami menyadari masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan
kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.
Cirebon, 5 Desember 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
aliran Salaf ..................................................................................... 2
B. Riwayat
hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal .................... 3
C.
Riwayat
hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah ........................................ 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aliran
mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari
Bani Abbas, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an
adalah mahluk”. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran
tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat
tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau
kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal
kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran salaf.
Aliran
salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad
ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh
imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan
reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan
dalam beberapa masalah diantaranya:
1.
Apa
yang dimaksud aliran salaf?
2. Bagaimana riwayat hidup dan pemikiran teologi
Imam Ahmad Ibn Hanbal?
3. Bagaimana riwayat hidup dan pemikiran teologi
Ibn Taimiyah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui aliran Salaf
2. Untuk
mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal.
3. Untuuk
mengetahui riwayat hidup dan pemikiran teologi Ibn Taimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. AHLSSUNAH SALAF
Berkembangnya
dakwah Salafiyah dikalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada
perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah SAW adalah suatu hal yang sangat
disyukuri. Maka banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai
definisi Salaf .
Menurut
Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’
tabi’in,para pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang
terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula
ulama-ulama Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Menurut
As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih.
Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan
Salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari
sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang
menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[1][1]
Aliran Salaf
terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang muncul pada abad keempat HIjrah dengan
mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hambal, yang
dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama Salaf
. karena pendapat ulam Salaf ini menjadi motif berdirinya, maka orang-orang
Hanabilah menamakan dirinya “ aliran SAlaf”.
Antara
golongan Hanabilah tersebut dengan aliran Asy’ariah sering-sering terjadi
pertentangan, baik yang bersifat phiysik, karena di mana terdapat aliran
Asy’ariah yang kuat, maka di situ pula terdapat orang-orang Hanabilah.
Masing-masing mengaku bahwa dirinya itu yang berhak mewakili ulama Salaf.
[2][2]
W. Montgomery
Watt menyatakan bahwa gerakan Salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad
ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme
kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali
di jerusallem dan Damaskus. Di damaskus, Kaum Hanbali makin kuat dengan
kedatangan para pengingsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak.
Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga
Ibn Taimiyah adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang Ketat.
Ibrahim
Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau Salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka lebih
mendahulukan riwayat (naql) dari pada dirayah ( aql).
2. Dalam
persoalan pokok-pokok agama ( ushuludin )dan persoalan-persoalan cabang
agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari
Al-KItab dan Sunnah.
3. Mereka
mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut ( tentang Dzat-Nya). Dan tidak
pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya
untuk menakwilkannya.
Apabila
melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas, tokoh-tokoh
berikut ini dapat diketegorikan sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah Bin Abbas
(68 H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar Bin Abdul Aziz (101 H), Az-Zuhri 124), Ja’far
Ash-Shidiq (148 H),dan para Imam Mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Ahmad Bin Hambal). Menurut
Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam
Ahmad Bin Hambal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian
disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia
Islam secara sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih
banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau
Muhammadiyah. Gerakan- gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai
gerakan ulama Salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang
dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan
pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dibawah ini
dijelaskan beberapa ulama Salaf dengan beberapa pemikirannya, terutama yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam.[3][3]
B. RIWAYAT HIDUP
DAN PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBALI
1. Riwayat
singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan
di bagdad tahun 164/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu
Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal
dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri Mazhab Hanbali.
Ibunya bernama
Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik Ibn Sawadah Ibn Hindur Asy-Syaibani,
bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Anas Ibn
Idris Ibn Abdullah Ibn Hayyan Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Auf Ibn Qasit Ibn Mazin
Ibn Syaiban, Ibn Dahal Ibn Akabah Ibn Sya’ab Ibn Ali bin Jadalah Ibn Asad bn
Rabi Al-Hadits Ibn Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga
dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya
meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan
Al-Quran kepada Ibn Hanbal. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan
ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada ulama-ulama terkenal di Khulafah, Basrah,
Syam, Yaman, Mekah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah Hammad Ibn Khalid,
Ismail Ibn ‘Aliyyah, Muzzaffar Ibn Mudrik, Walid Ibn Muslim, Muktamar Ibn
Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya Ibn Zaidah, Ibrahim Ibn Sa’id, Muhammad Ibn
Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq Ibn Humam, dan Musa Ibn Thariq. Dari guru-gurunya,
Ibn Hanbal mempelajari Ilmu Fiqih, Hadits, tafsir, kalam, ushul, dan Bahasa
Arab.[4][4]
Ibn Hanbal
dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur
sebentar di malam hari. Ia juga dikenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu
hari khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid membagi-bagikan beberapa keeping emas kepada
para ulama hadis, yang telah menjadi kebiasaan para Khalifah masa itu. Namun, Ibn Hanbal menolaknya. Bahkan, Syaikh
Abdul Razaq mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan memberikan kepada Ibn
Hanbal, tetapi justru Ibn Hanbal mengatakan, “saya tidak membutuhkannya.”
Karena begitu
teguh dalam pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab
Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban Mihnah (inquistition) karena tidak
mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk. Akibatnya, beberapa kali ia harus
dipenjara. Nasib serupa dialaminya pada masapemerintahan pengganti Al-Ma’mun,
yakni Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Namun, setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn
Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan
kemuliaan.
Diantara
murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiyah, Hasan Bin Musa, Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damasyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu
Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq ASy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullahh. Kedua
orang yang disebutkan terakhir adalah putra Ibn Hanbal.
Bukunya yang
paling utama ialah al-Musnad yang membuktikan keluasan pengetahuan dan
penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam. Buku tersebut terdiri atas tiga piluh
ribu hdis yang disandarkan kepada lebih dari tujuh ratus orang sahabat,
diseleksi oleh Ahmad Bin Hanbal dari tujuh ribu ratus hadis. Buku ini dan buku
lainnya telah membantu menempatkan hadis pada tempat yang proposional, sebagai
salah satu sumber Fikih Islam.[5][5]
2. Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzy (tekstual)
dari pada pendekatan Ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat
Tuhan dan ayat-ayat Mutsyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang
penafsiran ayat :
Artinya: “
(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam diatas Arsy.”(Q.S. Thaha
[20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ
وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya:
“istawa diatas Arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia khendaki dengan
tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika
ditanya tentang makna Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah
(orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan Hadits tentang telapak kaki
TUhan, Ibn Hanbal menjawab:
Artinya: “ kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari
pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (Tafwid)
makna-makna ayat dan Hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan
pengertian lahirnya.
b. Tentang
setatus Al-Quran
Salah satu
persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara
beberapa kali, adalah tentag status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk)
yang karenanya hadis (baru) ataukah tidak dicipakan yang karenanya Qadim? Faham
yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan
Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wtsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni
Al-Qur’an tidak bersifat Qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya Qadim
disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah
Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal
tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia kemudian
diuji dalam kasus Mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status
Al-Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubrernur
Irak: [6][6]
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin
Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk?
Ahmad : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya
lebih dari itu.
Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ahmad : Itu seperti apa yang
Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : Apakah maksudnya?
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut
tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan
ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. [8][8]
Bagi Ahmad bin
Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah,
dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah
dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan.
[9][9]
C. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH
1.
Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin
Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah
bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama
Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin
Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari
haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian
diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah
sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[10][10]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di
Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di
penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. kewafatannya telah
menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum
muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim Bin
Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan Hakim di
kotanya. Dikatan oleh Ibrahim Madkur bahwa Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf
yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid
yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan
penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits
mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah
Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn
Arabi. Kritiknya ditunjukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga
membangkitkan kemarahan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk
ke penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.
Ibn taimiyah terkenal sangat
cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk
memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama
merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya
di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah
sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306
M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Masa hidup Ibn Taimiyah
bebarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi,
dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima
tahun setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu,
dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyakan tantangan, bahkan
ia harus wafat di dalam penjara.[11][11]
2.
Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah
sebagai berikut :
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada
akal
c. Berpendapat bahwa Al-Quran
mengandung semua ilmu agama
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in
dan tabi’it tabi’in)
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam
Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah
jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah
seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai
pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat baha pengakuan Ibn Taimiyah
sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan
Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :
a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah
sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
1. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi dan wahdaniyyat.
2. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun
akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat
oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada
makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya
sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min
ghoiri tashrif/ tekstual)
2. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
3. Tidak mengingkarinya (min ghoiri
ilhad)
4. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati,
apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
5. Tidak menyerupakan (apalagi
mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili
rabb ‘alal ‘alamin).[13][13]
Berdasarkan alasan diatas, Ibn
Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya,
ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal
dalam masalah keterpaksaan dan iktiar manusia, yaitu
1. Allah pencipta segala sesuatu;
2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta
kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.[14][14]
3. Allah meridhai pebuatan baik dan
tidak meridlai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa
pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang
mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan
manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat
diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu
juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil.[15][15]
Menurut suatu sumber, bahwa Ibnu taimiyah memiliki
karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah tafsir, fiqh, retorika (jadal),
fatwa- fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan masyarakat. Dia
juga melakukan kritikan pedas terhadap berbagai masalah, terutama tentang
tasawuf, filsafat, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.
Diantara karangan-karangannya, antara lain:
a. Muwafaqah Sharih al-Ma’qul li Shahih al-Manqul
b. Al-jawab al-Shahih Liman Baddala Dina al- Masih
c. Al-Rasail Wa al-Masail
d. Al-Iman
e. Al-Istiqamah
f. Kitab al-Tauhid
Menurut Ibn
Taimiyah, umat Islam hanya satu umat; tidak ada umat lain. Umat ialah sebuah
wadah anggota yang memiliki tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan
Hadits, yaitu mewujudkan kehendak Allah swt. Anggota umat Islam harus bekerja
sama dengan yang lainnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan.
Mereka harus menjadikan kerja sama sebagai dasar bagi perbuatan yang dilakukan
bersama-sama.[17][17]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
penjelasan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya
adalah:
1. Salaf adalah uluma-ulama shaleh yang hidup pada tiga abad
pertama Islam. Atau golongan yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan
ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).
Diantara tokoh ulama salaf adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu
Taimiyah.
2. Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780
M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal
adalah dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka menggunakan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa
Quran itu diciptakan.
3. Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin
Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada
hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada
malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729
DAFTAR PUSTAKA
Abbad Sirajudin, I’tiqad Ahlussunah
Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
Amin Husayn
Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2000.
A. Nasir Sahilun. Pemikiran Kalam (Teology
Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
fauzi Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar),
Cirebon: STAIN Press,
Hanafi, Pengantar Theology Islam,
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011.
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam,
Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011.
[5][5] Husayn Ahmad Amin,
Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
Hlm. 83
[7][7] Sahilun A. Nasir.
Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 126-127
[10][10] Sirajudin Abbad,
I’tiqad Ahlussunah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah. 1987. Hlm. 261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar