BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ:
جَاءَ
رَجُلٌ
إِلَى
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَحَقُّ
النَّاسِ
بِحُسْنِ
صَحَابَتِي؟
قَالَ
أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ
؟
قَالَ ثُمَّ أُمُّك، قَالَ ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ
ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ
مَنْ
؟
قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ (متفق عليه)
Artinya:
Riwayat Abu Hurairah ra menuturkan, “Seorang pria datang kepada Rasulullah saw.
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling patut saya perlakukan dengan
baik?” Tanya pria itu. Beliau menjawab, “Ibumu." “Siapa lagi?”
Tanyanya kembali. “Ibumu,” jawab beliau. “Siapa lagi?” Tanyanya. “Ibumu,”
jawab beliau. “Terus siapa lagi?” Tanyanya. Beliau pun menjawab, “Ayahmu.”
(HR. al-Bukhari: No. 5514 dan Muslim: No. 4621)
Menurut pengertian etimologi, al-birru adalah
kebaikan atau keutamaan. Sedangkan dalam pengetian terminologi, al-birru adalah
amal saleh yang bersih dari noda-noda syirik. Sabda Nabi saw,
إِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِي إِلَى
الْبِرِّ (متفق عليه)
Artinya: “Kejujuran
adalah indikator untuk berbuat al-birr (beramal saleh).” (Muttafaq ‘Alaih)
Derivasi makna yang terkandung dalam
al-birr mencakup semua bentuk amal kebajikan, baik lahir maupun batin.
Berbentuk lahiriyah, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan, seperti
memberikan pertolongan, bantuan, mendermakan harta, dan lain-lain, yang
berbentuk batiniyah, yaitu kebajikan yang bersifat abstrak, misalnya berlaku
jujur, berhati ikhlas, berakhlak mulia, berdoa, dan budi pekerti luhur lainnya.
Mengenai al-birr yang didefinisikan sebagai kebajikan ini, sesuai dengan
firman Allah swt:
لَنْ تَنَالُوا
الْبِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3 :
92)
Dari dalil-dalil di atas, dapat ditarik benang merah
bahwa makna al-birr dapat diartikan sebagai amal saleh, budi pekerti
luhur, dan kebajikan secara umum. Dengan demikian, al-birr memiliki
antonim yaitu al-itsm yang berarti dosa. Sebab kebajikan dapat menuntun
orang ke sorga, sedangkan dosa dapat menjerumuskan orang ke neraka. Hal ini
selaras dengan dengan pernyataan An-Nawwas bin Sim’an yang bertanya kepada
Baginda Nabi mengenai definisi al-birr dan al-itsm. Nabi saw
menjawab:
الْبِرُّ حُسْنُ
الْخُلُقِ،
وَاْلإِثْمُ
مَا
حَاكَ
فِي
صَدْرِكَ
وَكَرِهْتَ
أَنْ
يَطَّلِعَ
عَلَيْهِ
النَّاسُ
(رواه مسلم والترمذي وأحمد)
Artinya: “Kebaikan
adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah kehendak di dalam hatimu
yang tidak disenangi sekiranya dilihat oleh manusia.” (HR. Muslim: No.
4632, al-Tirmidzi: No. 2311, dan Ahmad: No. 16974)
Adapun berbuat birr kepada
orang tua, berarti berbuat baiknya seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini
dapat diimplementasikan dengan perilaku sopan dan santun kepada keduanya, baik
dalam ucapan maupun tingkah laku, mentaati perintahnya selagi tidak menyuruh
berbuat maksiat, mencukupi segala kebutuhan yang mereka perlukan menurut batas
kemampuan yang ada, dan mendoakannya.
Hukum Berbakti Kepada Orang Tua
Para ulama sepakat bahwa berbuat taat dan bakti kepada
kedua orang tua itu hukumnya wajib. Tetapi yang dipersilisihkan ialah siapakah
yang harus didahulukan diantara keduanya itu, bapak atau ibu. Sebagian ulama
tidak membedakan satu sama lain untuk didahulukan dan diakhirkan, keduanya
harus diperlakukan dengan baik secara seimbang.
Menurut pemahaman eksplisit hadits Abu Hurairah di
atas, ibulah yang harus didahulukan daripada ayah. Ia lebih berhak dan lebih
utama untuk ditaati, disayangi, dikasihi, dan dilayani oleh seorang anak. Ulama
yang berpendapat demikian, berargumentasi bahwa Nabi saw dalam hadits tersebut,
mengulangi kata “ibumu” sebanyak tiga kali, baru kemudian “ayahmu”.
Ibu diutamakan daripada ayah,
mengingat jerih payahnya selama mengandung, melahirkan, menyusui, serta
mengasuh anaknya sampai dewasa. Jerih payah dan jasa ibu tersebut dilukiskan
Allah swt dalam firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ
وَهْنًا
عَلَى
وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ
فِي
عَامَيْنِ
أَنِ
اشْكُرْ
لِي
وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ
الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-ayahnya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman, 31:14)
Ibnu Uyainah berpendapat, syukur
kepada Allah dapat diwujudkan dengan melakukan shalat fardhu lima kali sehari
semalam, sedangkan syukur kepada dua orang tua dapat diaflikasikan salah
satunya dengan mendoakan keduanya setiap selesai shalat fardhu (Ibnu Allan
al-Shiddiqi, tth:II/144). Jadi, dengan melaksanakan shalat fardhu kemudian
berdoa untuk kedua orang tua, menurut Ibnu Uyainah, berarti telah bersyukur
kepada Allah dan kedua orangtuanya sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat di
atas.
Berbakti Kepada Orang Tua Non Muslim
Hidayah dan cahaya Islam memang hak perogratif Allah.
Manusia hanya disuruh untuk mengajak dan berdakwah menuju jalan-Nya dan tidak
ada paksaan bagi orang lain untuk mengikuti ajakannya. Terkadang orang tuanya
baik dan beriman, tetapi anaknya durhaka dan kemudian kafir, sebagaimana yang
terjadi pada keluarga Nabi Nuh. Terkadang pula anaknya saleh dan beriman,
tetapi orang tuanya durhaka dan musyrik, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim
dan ayahnya Azar. Oleh karena itu, tidak heran jika fenomena seperti ini sering
terjadi pada masyarakat, dari zaman dulu sampai sekarang. Permasalahannya,
bagaimana sikap seorang anak yang saleh dan beriman jika menghadapi orang tua
yang durhaka, musyrik, atau kafir. Apakah ia harus tetap berbakti kepada
keduanya, mendoakannya, dan menuruti titahnya, atau tidak?
Islam adalah agama penyebar rahmat untuk seluruh alam
(rahmatan lil alamin). Meskipun seseorang telah mengingkarinya, tetapi
haknya sebagai makhluk Allah tetap ada secara proporsional. Dalam hal ini,
Islam membatasi sampai di mana perintah orang tua yang musyrik itu dituruti
oleh anaknya, dan kapan seorang anak dikategorikan durhaka jika ia membangkang
titah orang tuanya.
Pada prinsipnya setiap titah orang
tuanya harus ditaati. Tetapi jika mengarah pada kemusyrikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, maka si anak tidak durhaka untuk menolaknya,
bahkan wajib tidak menaatinya. Karena hidayah Allah dan cahaya Islam sangat
berharga melebihi segala-galanya. Demikian pula, para dasarnya setiap hal yang
dilarang orang tua harus dijauhi oleh si anak. Kecuali jika larangan itu
bertentangan dengan syariat. Misalnya orang tua melarang shalat, belajar agama,
dan puasa, maka si anak tidak durhaka untuk membangkangnya, bahkan diwajibkan
untuk tidak taat kepadanya.
Namun demikian, si anak tetap harus
menjaga etika pergaulan dan sopan santun dihadapan orang tuanya, sehingga
hubungan dia dengan keduanya tidak berbuntut ketegangan. Allah mengingatkan
hamba-hambaNya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua meskipun
keyakinan mereka berbeda, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلى أَنْ
تُشْرِكَ بِي
مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا
Artinya: “Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...” (QS. Luqman,31:15)
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Asma
puteri Abu Bakar al-Shiddiq ra pernah dikunjungi oleh ibunya yang musyrik. Ia
saat itu bimbang, apakah harus berbuat baik kepadanya atau mengacuhkannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka
ditemukan jawaban bahwa ia harus tetap memperlakukan ibunya dengan baik,
meskipun ibunya itu seorang musyrik. Teks hadits tersebut lengkapnya sebagai
berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ
أَبِي
بَكْرٍ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمَا
قَالَتْ
قَدِمَتْ
عَلَيَّ
أُمِّي
وَهِيَ
مُشْرِكَةٌ
فِي
عَهْدِ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَاسْتَفْتَيْتُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قُلْتُ
وَهِيَ
رَاغِبَةٌ
أَفَأَصِلُ
أُمِّي
؟
قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (متفق عليه)
Artinya:
Riwayat dari Asma` binti Abi Bakar ra menuturkan, “Ibuku yang musyrik, pada
masa Rasulullah, datang mengunjungiku. Maka aku meminta fatwa kepada
Rasulullah. “Ibuku adalah orang yang tidak senang dengan agama Islam. Apakah
aku boleh menemuinya?” Rasul menjawab, “Temuilah ibumu!” (HR.
al-Bukhari: No. 2427 dan Muslim: No. 1671)
Berbuat baik kepada orang yang
berlainan keyakinan ini tidak terbatas hanya kepada orang tua. Kerabat dan
tetangga pun harus diperlakukan dengan baik selagi mereka mau berdamai dan
tidak menyatakan konfrontasi dengan kaum muslimin. Hal ini dijelaskan di dalam
al-Qur’an:
لاَ
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ
لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ
فِي
الدِّينِ
وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ
دِيَارِكُمْ
أَنْ
تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ
إِنَّ
اللَّهَ
يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
al-Mumtahanah, 60:8)
Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu dari
tiga amal yang paling disukai Allah. Kedua amal yang lain sebagaimana
dijelaskan hadits di bawah ini adalah shalat tepat waktunya dan jihad di jalan
Allah. Selengkapnya, hadits tersebut adalah:
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بنِ
مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَيُّ
الْعَمَلِ
أَحَبُّ
إِلَى
اللَّه؟
قَالَ
الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ
ثُمَّ
أَيٌّ ؟
قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ،
قُلْتُ
ثُمَّ
أَيٌّ
؟
قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ،
قُلْتُ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ
اسْتَزَدْتُهُ
لَزَادَنِي
(متفق عليه)
Artinya:
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “Aku bertanya kepada Nabi saw.
“Perbuatan apa yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, “Shalat tepat
pada waktunya.” “Kemudian apa?” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Berbakti
kepada orang tua.” “Apa lagi?” sambungku. Beliau menjawab, “Jihad fi
sabilillah.” (HR. al-Bukhari: No. 496 dan Muslim: No.122)
Berbuat Baik Kepada Kerabat
Selain kepada orang tua, manusia
muslim juga harus berbakti dan berbuat baik kepada para kerabat dan semua
keluarganya. Menurut pendapat Imam al-Nawawi (w. 676 H), hadits Abu Hurairah di
awal pembahasan ini tidak membatasi berbuat baik hanya kepada orang tua,
melainkan juga memberikan sugesti berbuat baik kepada kaum kerabat. Hanya saja
ibu lebih diutamakan, kemudian ayah, baru setelah itu para kerabat yang lain.
Lebih jelasnya lagi tentang berbakti kepada para kerabat ini, sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menuturkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ
ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ
أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ
ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
(رواه
مسلم)
Artinya: Berita
dari Abu Hurairah menyebutkan, seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Beliau
menjwab, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu ayahmu, selanjutnya
orang-orang yang paling dekat denganmu (kerabat).” (HR. Muslim: No. 4622)
Hadits Muslim ini menjadi polemik
diantara para ulama, siapakah yang lebih berhak dari para kerabat itu untuk
ditaati antara pihak nenek-kakek dan pihak saudara-saudara? Imam Nawawi dalam
kitabnya Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bi mengutip pendapat ulama
Syafi’iyyah dalam hal ini. Mereka menetapkan kesunahan berbuat birr dalam
skala prioritas secara hirarkis berturut-turut dari ibu, kemudian ayah,
anak-anak, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, lalu mahram-mahram
yang lain seperti paman dan bibi, baik dari jalur ayah maupun ibu. Keluarga
dari keturunan ibu dan ayah didahulukan daripada keluarga dari keturunan salah
satunya. Kemudian baru keluarga yang bukan mahram, seperti saudara sepupu. Lalu
mertua dan tetangga. (al-Nawawi: 1392 H:XVI/103)
Berbakti Kepada Orang Tua yang Telah Wafat
Berbakti kepada orang tua tidak selesai dengan
meninggalnya mereka. Sekalipun orang tua sudah meninggal dunia, seorang anak
masih tetap berkewajiban untuk terus berbakti kepadanya. Adapun cara berbuat
baik atau berbakti kepada mereka yang telah meninggal dunia, antara lain: (1)
menjalin hubungan kasih sayang dan kekerabatan terhadap orang-orang yang pernah
dikasihsayangi oleh orang tuanya semasa hidup. Alkisah, Abdullah bin Umar,
seorang sahabat Nabi yang agung, suatu hari pergi dari Mekkah dengan menunggang
seekor keledai dan memakai surban yang terikat di kepalanya. Kemudian lewatlah
seorang arab badwi berjalan kaki. “Apakah kamu puteranya Bapak Fulan?” tanya
Ibnu Umar. “Benar,” jawab si badwi. Maka Ibnu Umar pun langsung memberikan
keledai dan surbannya. “Tunggangi hewan ini dan ikatkanlah surban ini
dikepalamu!” pesan Ibnu Umar.
Para sahabat yang lain melihat peristiwa itu merasa
kagum. “Semoga Allah mengampunimu. Kenapa engkau memberikan keledai dan
surbanmu kepada orang badwi ini, padahal engkau sendiri sedang menggunakannya?”
tanya mereka. Ibnu Umar pun menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda:
إِنَّ مِنْ
أَبَرِّ
الْبِرِّ
صِلَةَ
الرَّجُلِ
أَهْلَ
وُدِّ
أَبِيهِ
بَعْدَ
أَنْ
يُوَلِّيَ
وَإِنَّ
أَبَاهُ
كَانَ
صَدِيقًا
لِعُمَرَ
(رواه
مسلم وأبو داود والترمذي)
Artinya: “Termasuk
dari bakti yang utama, ialah silaturrahimnya seseorang kepada ahli kerabat yang
dicintai ayahnya, setelah orang tuanya meninggal.” Ayah orang badwi ini
adalah kolega ayahnya yaitu Umar.” (HR. Muslim: No. 4631, Abu Dawud: No.
4477, dan al-Tirmidzi: No. 1825)
Kemudian cara selanjutnya, (2)
mendoakan dan memintakan ampunan baginya (jika keduanya beragama Islam), (3)
melaksanakan janjinya, dan (4) menjaga hubungan baik dengan teman-temannya. Hal
tersebut sebagaimana diungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Usaid, Malik bin Rabi’ah al-Sa’idi. Ia menuturkan:
بَيْنَا
نَحْنُ
عِنْدَ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إِذْ
جَاءَهُ
رَجُلٌ
مِنْ
بَنِي
سَلَمَةَ
فَقَالَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
هَلْ
بَقِيَ
مِنْ
بِرِّ
أَبَوَيَّ
شَيْءٌ
أَبَرُّهُمَا
بِهِ
بَعْدَ
مَوْتِهِمَا
قَالَ
نَعَمْ
الصَّلاَةُ
عَلَيْهِمَا
وَاْلاِسْتِغْفَارُ
لَهُمَا
وَإِنْفَاذُ
عَهْدِهِمَا
مِنْ
بَعْدِهِمَا
وَصِلَةُ
الرَّحِمِ
الَّتِي لاَ
تُوصَلُ
إِلاَّ
بِهِمَا
وَإِكْرَامُ
صَدِيقِهِمَا
(رواه أبو داود)
Artinya: Pada
suatu hari, kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang
laki-laki keturunan Bani Salamah bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah,
apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bebuat baik kepada kedua orang tuaku
setelah keduanya wafat?” tanya laki-laki itu. Beliau menjawab: “Ya, masih
ada, yaitu mendoakan, memohonkan ampunan, melaksanakan janji keduanya yang
ditinggalkan, melaksanakan silaturahim kepada seseorang yang tidak dapat
dilaksanakan selain memperoleh keikhlasan dan keridhaannya, serta memuliakan
kawan dari keduanya.” (HR. Abu Dawud: No. 4476)
Begitu pula firman Allah yang
menganjurkan seorang anak untuk selalu mendoakan orang tuanya mengingat
jasa-jasa mereka yang telah mendidiknya sewaktu kecil. Doa tersebut termaktub
dalam al-Qur’an:
وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “...dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra, 17:24)
Dalam ayat yang lain, manusia muslim dibimbing oleh
agamanya untuk berdoa, memohonkan ampunan kepada Allah swt, bagi dirinya, kedua
orang tuanya, kerabatnya yang mukmin, dan seluruh kaum mukminin secara umum.
رَبِّ
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ
مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلاَ
تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلاَّ
تَبَارًا
Artinya: “Ya
Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman
dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS.
Nuh, 71:28)
Kesimpulan
1. Berbakti kepada
kedua orangtua (birrul walidain) dan para kerabat merupakan suatu
kewajiban yang harus ditunaikan seorang muslim.
2. Mendahulukan
ibu dalam berbakti daripada ayah kemudian kerabat-kerabat yang lain, merupakan
suatu kesunahan.
3. Tidak termasuk
durhaka (‘uququl walidain) membantah perintah dan larangan orang tua
yang bertolak belakang dengan syariat Islam. Bahkan termasuk dosa dan haram
hukumnya jika seseorang patuh terhadap perintah untuk bermaksiat dan durhaka
kepada Allah.
4. Sugesti untuk
berbuat baik dan adil kepada tetangga atau siapa saja yang non-muslim, selagi
mereka tidak mengganggu stabilitas keamanan dan keyakinan kaum muslimin.
5. Sekalipun agama
dan kepercayaan antara orang tua dan anak berbeda, namun hubungan kekeluargaan
tetap harus dibina sebaik-baiknya.
6. Berbuat baik
kepada orang tua yang telah meninggal dapat diwujudkan dengan mendoakannya,
memohonkan ampunan untuknya, menjalankan wasiatnya, dan menjalin hubungan baik
dengan orang-orang yang menjadi koleganya.
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ:
جَاءَ
رَجُلٌ
إِلَى
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَحَقُّ
النَّاسِ
بِحُسْنِ
صَحَابَتِي؟
قَالَ
أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ
؟
قَالَ ثُمَّ أُمُّك، قَالَ ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ
ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ
مَنْ
؟
قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ (متفق عليه)
Artinya:
Riwayat Abu Hurairah ra menuturkan, “Seorang pria datang kepada Rasulullah saw.
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling patut saya perlakukan dengan
baik?” Tanya pria itu. Beliau menjawab, “Ibumu." “Siapa lagi?”
Tanyanya kembali. “Ibumu,” jawab beliau. “Siapa lagi?” Tanyanya. “Ibumu,”
jawab beliau. “Terus siapa lagi?” Tanyanya. Beliau pun menjawab, “Ayahmu.”
(HR. al-Bukhari: No. 5514 dan Muslim: No. 4621)
Menurut pengertian etimologi, al-birru adalah
kebaikan atau keutamaan. Sedangkan dalam pengetian terminologi, al-birru adalah
amal saleh yang bersih dari noda-noda syirik. Sabda Nabi saw,
إِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِي إِلَى
الْبِرِّ (متفق عليه)
Artinya: “Kejujuran
adalah indikator untuk berbuat al-birr (beramal saleh).” (Muttafaq ‘Alaih)
Derivasi makna yang terkandung dalam
al-birr mencakup semua bentuk amal kebajikan, baik lahir maupun batin.
Berbentuk lahiriyah, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan, seperti
memberikan pertolongan, bantuan, mendermakan harta, dan lain-lain, yang
berbentuk batiniyah, yaitu kebajikan yang bersifat abstrak, misalnya berlaku
jujur, berhati ikhlas, berakhlak mulia, berdoa, dan budi pekerti luhur lainnya.
Mengenai al-birr yang didefinisikan sebagai kebajikan ini, sesuai dengan
firman Allah swt:
لَنْ تَنَالُوا
الْبِرَّ حَتَّى
تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3 :
92)
Dari dalil-dalil di atas, dapat ditarik benang merah
bahwa makna al-birr dapat diartikan sebagai amal saleh, budi pekerti
luhur, dan kebajikan secara umum. Dengan demikian, al-birr memiliki
antonim yaitu al-itsm yang berarti dosa. Sebab kebajikan dapat menuntun
orang ke sorga, sedangkan dosa dapat menjerumuskan orang ke neraka. Hal ini
selaras dengan dengan pernyataan An-Nawwas bin Sim’an yang bertanya kepada
Baginda Nabi mengenai definisi al-birr dan al-itsm. Nabi saw
menjawab:
الْبِرُّ حُسْنُ
الْخُلُقِ،
وَاْلإِثْمُ
مَا
حَاكَ
فِي
صَدْرِكَ
وَكَرِهْتَ
أَنْ
يَطَّلِعَ
عَلَيْهِ
النَّاسُ
(رواه مسلم والترمذي وأحمد)
Artinya: “Kebaikan
adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah kehendak di dalam hatimu
yang tidak disenangi sekiranya dilihat oleh manusia.” (HR. Muslim: No.
4632, al-Tirmidzi: No. 2311, dan Ahmad: No. 16974)
Adapun berbuat birr kepada
orang tua, berarti berbuat baiknya seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini
dapat diimplementasikan dengan perilaku sopan dan santun kepada keduanya, baik
dalam ucapan maupun tingkah laku, mentaati perintahnya selagi tidak menyuruh
berbuat maksiat, mencukupi segala kebutuhan yang mereka perlukan menurut batas
kemampuan yang ada, dan mendoakannya.
Hukum Berbakti Kepada Orang Tua
Para ulama sepakat bahwa berbuat taat dan bakti kepada
kedua orang tua itu hukumnya wajib. Tetapi yang dipersilisihkan ialah siapakah
yang harus didahulukan diantara keduanya itu, bapak atau ibu. Sebagian ulama
tidak membedakan satu sama lain untuk didahulukan dan diakhirkan, keduanya
harus diperlakukan dengan baik secara seimbang.
Menurut pemahaman eksplisit hadits Abu Hurairah di
atas, ibulah yang harus didahulukan daripada ayah. Ia lebih berhak dan lebih
utama untuk ditaati, disayangi, dikasihi, dan dilayani oleh seorang anak. Ulama
yang berpendapat demikian, berargumentasi bahwa Nabi saw dalam hadits tersebut,
mengulangi kata “ibumu” sebanyak tiga kali, baru kemudian “ayahmu”.
Ibu diutamakan daripada ayah,
mengingat jerih payahnya selama mengandung, melahirkan, menyusui, serta
mengasuh anaknya sampai dewasa. Jerih payah dan jasa ibu tersebut dilukiskan
Allah swt dalam firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ
بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ
وَهْنًا
عَلَى
وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ
فِي
عَامَيْنِ
أَنِ
اشْكُرْ
لِي
وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ
الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-ayahnya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman, 31:14)
Ibnu Uyainah berpendapat, syukur
kepada Allah dapat diwujudkan dengan melakukan shalat fardhu lima kali sehari
semalam, sedangkan syukur kepada dua orang tua dapat diaflikasikan salah
satunya dengan mendoakan keduanya setiap selesai shalat fardhu (Ibnu Allan
al-Shiddiqi, tth:II/144). Jadi, dengan melaksanakan shalat fardhu kemudian
berdoa untuk kedua orang tua, menurut Ibnu Uyainah, berarti telah bersyukur
kepada Allah dan kedua orangtuanya sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat di
atas.
Berbakti Kepada Orang Tua Non Muslim
Hidayah dan cahaya Islam memang hak perogratif Allah.
Manusia hanya disuruh untuk mengajak dan berdakwah menuju jalan-Nya dan tidak
ada paksaan bagi orang lain untuk mengikuti ajakannya. Terkadang orang tuanya
baik dan beriman, tetapi anaknya durhaka dan kemudian kafir, sebagaimana yang
terjadi pada keluarga Nabi Nuh. Terkadang pula anaknya saleh dan beriman,
tetapi orang tuanya durhaka dan musyrik, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim
dan ayahnya Azar. Oleh karena itu, tidak heran jika fenomena seperti ini sering
terjadi pada masyarakat, dari zaman dulu sampai sekarang. Permasalahannya,
bagaimana sikap seorang anak yang saleh dan beriman jika menghadapi orang tua
yang durhaka, musyrik, atau kafir. Apakah ia harus tetap berbakti kepada
keduanya, mendoakannya, dan menuruti titahnya, atau tidak?
Islam adalah agama penyebar rahmat untuk seluruh alam
(rahmatan lil alamin). Meskipun seseorang telah mengingkarinya, tetapi
haknya sebagai makhluk Allah tetap ada secara proporsional. Dalam hal ini,
Islam membatasi sampai di mana perintah orang tua yang musyrik itu dituruti
oleh anaknya, dan kapan seorang anak dikategorikan durhaka jika ia membangkang
titah orang tuanya.
Pada prinsipnya setiap titah orang
tuanya harus ditaati. Tetapi jika mengarah pada kemusyrikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, maka si anak tidak durhaka untuk menolaknya,
bahkan wajib tidak menaatinya. Karena hidayah Allah dan cahaya Islam sangat
berharga melebihi segala-galanya. Demikian pula, para dasarnya setiap hal yang
dilarang orang tua harus dijauhi oleh si anak. Kecuali jika larangan itu
bertentangan dengan syariat. Misalnya orang tua melarang shalat, belajar agama,
dan puasa, maka si anak tidak durhaka untuk membangkangnya, bahkan diwajibkan
untuk tidak taat kepadanya.
Namun demikian, si anak tetap harus
menjaga etika pergaulan dan sopan santun dihadapan orang tuanya, sehingga
hubungan dia dengan keduanya tidak berbuntut ketegangan. Allah mengingatkan
hamba-hambaNya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua meskipun
keyakinan mereka berbeda, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلى أَنْ
تُشْرِكَ بِي
مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا
Artinya: “Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...” (QS. Luqman,31:15)
Dalam sebuah riwayat diceritakan,
Asma puteri Abu Bakar al-Shiddiq ra pernah dikunjungi oleh ibunya yang musyrik.
Ia saat itu bimbang, apakah harus berbuat baik kepadanya atau mengacuhkannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka
ditemukan jawaban bahwa ia harus tetap memperlakukan ibunya dengan baik,
meskipun ibunya itu seorang musyrik. Teks hadits tersebut lengkapnya sebagai
berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ
أَبِي
بَكْرٍ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمَا
قَالَتْ
قَدِمَتْ
عَلَيَّ
أُمِّي
وَهِيَ
مُشْرِكَةٌ
فِي
عَهْدِ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَاسْتَفْتَيْتُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قُلْتُ
وَهِيَ
رَاغِبَةٌ
أَفَأَصِلُ
أُمِّي
؟
قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (متفق عليه)
Artinya:
Riwayat dari Asma` binti Abi Bakar ra menuturkan, “Ibuku yang musyrik, pada
masa Rasulullah, datang mengunjungiku. Maka aku meminta fatwa kepada
Rasulullah. “Ibuku adalah orang yang tidak senang dengan agama Islam. Apakah
aku boleh menemuinya?” Rasul menjawab, “Temuilah ibumu!” (HR.
al-Bukhari: No. 2427 dan Muslim: No. 1671)
Berbuat baik kepada orang yang
berlainan keyakinan ini tidak terbatas hanya kepada orang tua. Kerabat dan
tetangga pun harus diperlakukan dengan baik selagi mereka mau berdamai dan
tidak menyatakan konfrontasi dengan kaum muslimin. Hal ini dijelaskan di dalam
al-Qur’an:
لاَ
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ
لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ
فِي
الدِّينِ
وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ
دِيَارِكُمْ
أَنْ
تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ
إِنَّ
اللَّهَ
يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
al-Mumtahanah, 60:8)
Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu dari
tiga amal yang paling disukai Allah. Kedua amal yang lain sebagaimana
dijelaskan hadits di bawah ini adalah shalat tepat waktunya dan jihad di jalan
Allah. Selengkapnya, hadits tersebut adalah:
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بنِ
مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَيُّ
الْعَمَلِ
أَحَبُّ
إِلَى
اللَّه؟
قَالَ
الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ
ثُمَّ
أَيٌّ ؟
قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ،
قُلْتُ
ثُمَّ
أَيٌّ
؟
قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ،
قُلْتُ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ
اسْتَزَدْتُهُ
لَزَادَنِي
(متفق عليه)
Artinya:
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “Aku bertanya kepada Nabi saw.
“Perbuatan apa yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, “Shalat tepat
pada waktunya.” “Kemudian apa?” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Berbakti
kepada orang tua.” “Apa lagi?” sambungku. Beliau menjawab, “Jihad fi
sabilillah.” (HR. al-Bukhari: No. 496 dan Muslim: No.122)
Berbuat Baik Kepada Kerabat
Selain kepada orang tua, manusia
muslim juga harus berbakti dan berbuat baik kepada para kerabat dan semua
keluarganya. Menurut pendapat Imam al-Nawawi (w. 676 H), hadits Abu Hurairah di
awal pembahasan ini tidak membatasi berbuat baik hanya kepada orang tua,
melainkan juga memberikan sugesti berbuat baik kepada kaum kerabat. Hanya saja
ibu lebih diutamakan, kemudian ayah, baru setelah itu para kerabat yang lain.
Lebih jelasnya lagi tentang berbakti kepada para kerabat ini, sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menuturkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ
ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ
أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ
ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
(رواه
مسلم)
Artinya: Berita
dari Abu Hurairah menyebutkan, seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Beliau
menjwab, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu ayahmu, selanjutnya
orang-orang yang paling dekat denganmu (kerabat).” (HR. Muslim: No. 4622)
Hadits Muslim ini menjadi polemik
diantara para ulama, siapakah yang lebih berhak dari para kerabat itu untuk
ditaati antara pihak nenek-kakek dan pihak saudara-saudara? Imam Nawawi dalam
kitabnya Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bi mengutip pendapat ulama
Syafi’iyyah dalam hal ini. Mereka menetapkan kesunahan berbuat birr dalam
skala prioritas secara hirarkis berturut-turut dari ibu, kemudian ayah,
anak-anak, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, lalu mahram-mahram
yang lain seperti paman dan bibi, baik dari jalur ayah maupun ibu. Keluarga
dari keturunan ibu dan ayah didahulukan daripada keluarga dari keturunan salah
satunya. Kemudian baru keluarga yang bukan mahram, seperti saudara sepupu. Lalu
mertua dan tetangga. (al-Nawawi: 1392 H:XVI/103)
Berbakti Kepada Orang Tua yang Telah Wafat
Berbakti kepada orang tua tidak selesai dengan
meninggalnya mereka. Sekalipun orang tua sudah meninggal dunia, seorang anak
masih tetap berkewajiban untuk terus berbakti kepadanya. Adapun cara berbuat
baik atau berbakti kepada mereka yang telah meninggal dunia, antara lain: (1)
menjalin hubungan kasih sayang dan kekerabatan terhadap orang-orang yang pernah
dikasihsayangi oleh orang tuanya semasa hidup. Alkisah, Abdullah bin Umar,
seorang sahabat Nabi yang agung, suatu hari pergi dari Mekkah dengan menunggang
seekor keledai dan memakai surban yang terikat di kepalanya. Kemudian lewatlah
seorang arab badwi berjalan kaki. “Apakah kamu puteranya Bapak Fulan?” tanya
Ibnu Umar. “Benar,” jawab si badwi. Maka Ibnu Umar pun langsung memberikan
keledai dan surbannya. “Tunggangi hewan ini dan ikatkanlah surban ini
dikepalamu!” pesan Ibnu Umar.
Para sahabat yang lain melihat peristiwa itu merasa
kagum. “Semoga Allah mengampunimu. Kenapa engkau memberikan keledai dan
surbanmu kepada orang badwi ini, padahal engkau sendiri sedang menggunakannya?”
tanya mereka. Ibnu Umar pun menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda:
إِنَّ مِنْ
أَبَرِّ
الْبِرِّ
صِلَةَ
الرَّجُلِ
أَهْلَ
وُدِّ
أَبِيهِ
بَعْدَ
أَنْ
يُوَلِّيَ
وَإِنَّ
أَبَاهُ
كَانَ
صَدِيقًا
لِعُمَرَ
(رواه
مسلم وأبو داود والترمذي)
Artinya: “Termasuk
dari bakti yang utama, ialah silaturrahimnya seseorang kepada ahli kerabat yang
dicintai ayahnya, setelah orang tuanya meninggal.” Ayah orang badwi ini
adalah kolega ayahnya yaitu Umar.” (HR. Muslim: No. 4631, Abu Dawud: No.
4477, dan al-Tirmidzi: No. 1825)
Kemudian cara selanjutnya, (2)
mendoakan dan memintakan ampunan baginya (jika keduanya beragama Islam), (3)
melaksanakan janjinya, dan (4) menjaga hubungan baik dengan teman-temannya. Hal
tersebut sebagaimana diungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Usaid, Malik bin Rabi’ah al-Sa’idi. Ia menuturkan:
بَيْنَا
نَحْنُ
عِنْدَ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
إِذْ
جَاءَهُ
رَجُلٌ
مِنْ
بَنِي
سَلَمَةَ
فَقَالَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
هَلْ
بَقِيَ
مِنْ
بِرِّ
أَبَوَيَّ
شَيْءٌ
أَبَرُّهُمَا
بِهِ
بَعْدَ
مَوْتِهِمَا
قَالَ
نَعَمْ
الصَّلاَةُ
عَلَيْهِمَا
وَاْلاِسْتِغْفَارُ
لَهُمَا
وَإِنْفَاذُ
عَهْدِهِمَا
مِنْ
بَعْدِهِمَا
وَصِلَةُ
الرَّحِمِ
الَّتِي لاَ
تُوصَلُ
إِلاَّ
بِهِمَا
وَإِكْرَامُ
صَدِيقِهِمَا
(رواه أبو داود)
Artinya: Pada
suatu hari, kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang
laki-laki keturunan Bani Salamah bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah,
apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bebuat baik kepada kedua orang tuaku
setelah keduanya wafat?” tanya laki-laki itu. Beliau menjawab: “Ya, masih
ada, yaitu mendoakan, memohonkan ampunan, melaksanakan janji keduanya yang
ditinggalkan, melaksanakan silaturahim kepada seseorang yang tidak dapat
dilaksanakan selain memperoleh keikhlasan dan keridhaannya, serta memuliakan
kawan dari keduanya.” (HR. Abu Dawud: No. 4476)
Begitu pula firman Allah yang
menganjurkan seorang anak untuk selalu mendoakan orang tuanya mengingat
jasa-jasa mereka yang telah mendidiknya sewaktu kecil. Doa tersebut termaktub
dalam al-Qur’an:
وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “...dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra, 17:24)
Dalam ayat yang lain, manusia muslim dibimbing oleh
agamanya untuk berdoa, memohonkan ampunan kepada Allah swt, bagi dirinya, kedua
orang tuanya, kerabatnya yang mukmin, dan seluruh kaum mukminin secara umum.
رَبِّ
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ
مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلاَ
تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلاَّ
تَبَارًا
Artinya: “Ya
Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman
dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS.
Nuh, 71:28)
Kesimpulan
1. Berbakti kepada
kedua orangtua (birrul walidain) dan para kerabat merupakan suatu
kewajiban yang harus ditunaikan seorang muslim.
2. Mendahulukan
ibu dalam berbakti daripada ayah kemudian kerabat-kerabat yang lain, merupakan
suatu kesunahan.
3. Tidak termasuk
durhaka (‘uququl walidain) membantah perintah dan larangan orang tua
yang bertolak belakang dengan syariat Islam. Bahkan termasuk dosa dan haram
hukumnya jika seseorang patuh terhadap perintah untuk bermaksiat dan durhaka
kepada Allah.
4. Sugesti untuk
berbuat baik dan adil kepada tetangga atau siapa saja yang non-muslim, selagi
mereka tidak mengganggu stabilitas keamanan dan keyakinan kaum muslimin.
5. Sekalipun agama
dan kepercayaan antara orang tua dan anak berbeda, namun hubungan kekeluargaan
tetap harus dibina sebaik-baiknya.
6. Berbuat baik
kepada orang tua yang telah meninggal dapat diwujudkan dengan mendoakannya,
memohonkan ampunan untuknya, menjalankan wasiatnya, dan menjalin hubungan baik
dengan orang-orang yang menjadi koleganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar