SISTEM POLITIK ISLAM INDONESIA ORDE REFORMASI
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai
kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan
tujuan,
pengambilan keputusan, seleksi
dan penyusunan skala prioritasnya. Sistem politik
Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dan mencapai tujuan nasional, maka sesuai dengan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
pemerintah republik Indonesia menyelenggarakan
politik Negara, yaitu keseluruhan
penyelenggaraan politik, yang cenderung
agak sentralistik karena UUD 1945 itu sendiri
yang integralistik, dengan memanfaatkan dan mendayagunakan segala kemampuan
aparatur negara serta segenap dana dan daya, demi terciptanya tujuan nasional, dan terlaksananya tugas negara sebagaimana di tetapkan dalam
UUD
1945. Hal ini karena
para
Founding Fathers menginginkan negara ini bersatu pada mulanya, banyaknya
suku,agama,pulau,bahasa dan
corak ragam lainya di negeri
ini.[1]
Proses reformasi di Indonesia
terjadi pada tahun 1998 diawali dengan lengsernya Soeharto. Kemudian digantikan
oleh Presiden B.J. Habibi. Di era Reformasi banyak partai-partai Islam yang
muncul diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi,
Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan
Partai Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
(SUNI). Meskipun partai-partai Islam ini tidak meraih suara terbesar, namun
koalisi mereka melalui kaukus Poros Tengah dapat menghalangi tampilnya aliran
dan kelompok politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa
tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif.
Seperti Amin Rais sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden.[2]
Pasca
kepemimpinan Soeharto, nampaknya era reformasi merupakan momentum yang sangat
tepat untuk melahirkan ide, gagasan ataupun ekspresi dari masing-masing
organisasi Islam maupun dari partai Islam. Nadhatul Ulama dan Muhammadiyah
tidak lagi menjadi dwi-tunggal yang mengundang perhatian banyak pengamat asing.
Selain NU dan Muhammadiyah, realitasnya, ada banyak organisasi massa Islam di
Indonesia, misalnya Persis atau Perti, namun memang tidak sebesar dua
organisasi sebelumnya.
Era
reformasi merupakan era keterbukaan yang memungkinkan orang untuk mengekspresikan
pikiran termasuk cara keberagaamaan. contoh misalnya; lahirnya Front Pembela
Islam (FPI) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Forum Komunikasi Islam
Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing
organisasi Islam ini lahir dengan karakternya masing-masing. Yang menarik,
gerakan organisasi ini mampu menyedot perhatian media massa dengan
seluas-luasnya di media dalam dan luar negeri.
Selain
sangat kental dengan simbol, gerakannya yang lebih mengandalkan unjuk kekuatan dalam
melawan sesuatu di mana hal ini tidak dijumpai sebelumnya banyak orang
dirugikan atas pembenaran tindakannya yang mengatasnamakan agama dengan kata
lain jihad. Fenomena munculnya gerakan baru Islam ini juga didukung oleh
menguatnya wacana penerapan syariat Islam yang dibarengi oleh kebijakan
pemerintah dengan otonomi daerah masa presiden Abdurrahman Wahid.
Pemerintah
memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur pemerintahnnya sendiri. Sejak
inilah Islam Indonesia banyak dikenal lebih pada gerakannya, beberapa gerakan
yang anarki dengan mengatasnamakan amar ma’ruf lebih sering didengar masyarakat
daripada kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-kajian untuk mengeksplorasi Islam.
Selain
itu jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan
munculnya pemerintahan pasca orde baru yang demokratis. Hal itu tercermin dari
kebebasan mendirikan partai politik. Tercatat ada 48 partai baru yang mengikuti
pemilu 1999. Termasuk di dalamnya partai Islam. Tercatat sejumlah partai
politik Islam yang saat ini (atau pernah) berada pada peringkat 10 besar partai
politik di Indonesia memiliki sejarah kelahiran pada kurun waktu 1998-1999.
Beberapa contoh diantaranya adalah PBB, PPP, PKS, PAN, dan PKB.
Secara
umum, parta-partai politik Islam pasca reformasi memiliki dua aliran berbeda
yang saling bertentangan. Aliran yang pertama menganut bahwa syariah Islam
harus diterapkan dalam sistem pemerintahan. Partai-partai besar yang menganut
aliran ini adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan aliran kedua menolak
pengimplementasian syariah Islam dalam sistem pemerintahan. Aliran ini dianut
oleh dua partai Islam yang cukup besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).[3]
Andreas
Ufen menyebutkan bahwa politik aliran telah menghilang setelah reformasi. Hal
ini ditandai dengan tergerusnya struktur ideologi partai.[4] Menurut Sukma dan Joewono, partai Islam kini
dapat dibagi berdasarkan sikapnya terhadap relasi Islam-negara ke dalam dua
kelompok. Kelompok pertama menginginkan agar hukum Islam diterapkan di dalam
negara. Kelompok ini terdiri dari PBB, PKS dan PPP. Sedangkan kelompok kedua
menginginkan agar negara tidak menganut hukum Islam. Kelompok ini terdiri dari
PAN dan PKB.
Keadaan
ini juga mempengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun
langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya. Seperti
kampanye pemilu 1999 ada beberapa Ulama NU yang membela partai PKB.
Selain
Ulama-Ulama NU atau Nadhatul Ulama, ulama yang berasal dari Muhammadiyah dan
generasi muda Masyumi yang turut andil dalam pembentukan partai. Mereka ada
yang bergabung dengan PAN dan PBB. Pendukung PAN lebih banyak berasal dari
Muhammadiyah,sedangkan PBB ingin membangkitkan kembali perjuangan Masyumi. Para
mahasiswa dan halqah kampus turut mendirikan partai Islam, yaitu Partai
Keadilan (belakangan PKS) yang menarik sebagian ulama yang merupakan alumnus
Timur Tengah. Belakangan, dua partai, PKB dan PAN menyatakan diri sebagai
partai yang berasaskan Pancasila dan bersifat nasionalis, tetapi basisnya
adalah massa Islam.
Kehadiran
ulama dalam politik seharusnya berdampak positif, dalam pengertian memberikan
sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena
ulama adalah simbol moral. Namun ketika Ulama sudah terpolarisasi sedemikian
rupa, sehingga sering antara seorang ulama dengan ulama lain saling berhadapan
dan membela partainya masing masing. Kondisi ini akan menimbulkan perpecahan
dan dampaknya membingungkan rakyat, sehingga akan memperlemah kekuatan umat
Islam sendiri yang akhirnya sering di manfaatkan oleh golongan partai lain.[5]
Berkembangnya
partai Islam pasca-reformasi barangkali berkaitan dengan argumen Hefner (1993)
bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik besar. Menurut Jamhari, hal ini
diindikasikan dengan lahirnya kelas menengah Islam yang menyediakan
kepemimpinan nasional sekaligus massa untuk mendemonstrasi Suharto. Generasi
ini lahir sebagai akibat dari hubungan baik Islam-negara di pengujung
kepemimpinan Suharto. Berikut adalah beberapa partai Islam yang berkembang pada
awal reformasi, diantaranya;
1. PBB
Partai
yang berdiri pada 17 juli 1998 ini dikenal sebagai pendukung utama penerapan
syariah Islam dalam pemerintahan Indonesia. PBB menggunakan landasan Al-Quran
dan Al-Hadits dengan ide utama Modernisme Islam, yaitu pemikiran bahwa Islam
adalah doktrin universal yang dapat menyelesaikan segala permasalahan. PBB
berkeinginan menyatukan kalangan muslim dan kalangan lainnya utk
mengimplementasikan aspirasi lewat program-program PBB agar tercipta kebaikan
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam isu politik, PBB mendorong amandemen
UUD 1945 untuk mencegah pemerintahan yang otoriter, mendukung pemilihan
umum presiden secara langsung, dan mendukung pembatasan masa jabatan presiden.[6] PBB memiliki basis massa yang
berasal dari para simpatisan Masyumi, dan golongan pendukung Islam konservatif.
Pada pemilu 1999, PBB meraih 2,81% suara, pada pemilu 2004 dan 2009 mengalami
penurunan menjadi 2,62% dan 2%.
2. PKS
PKS
terbentuk pada 20 Juli 1998 dengan berlandaskan Al-Quran dan Sunnah. Meskipun
Islam adalah asas partai, tapi PKS mengakui prularisme dan multikulturalisme.
PKS menggunakan prisnsip khalifah, yaitu prinsip bahwa manusia adalah pemimpin
di muka bumi dalam hal agama dan politik. Dalam isu pemerintahan, salah satu
agenda utamanya adalah menempatkan ulama, intelektual, dan aparat pemerintahan
dalam suatu sistem institusi sehingga ketiganya dapat saling bekerjasama. Dalam
isu politik, PKS menekankan pertanggungjawaban dalam kepemimpinan. Dalam isu
pendidikan, program PKS memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama dalam seluruh
aspek kehidupan. Basis massa PKS adalah pemuda muslim, santri, dan intelektual
muda dari universitas. Pada pemilu 1999 PKS berhasil mendulang suara sebanyak
1,36%, pemilu 2004 sebanyak 7,34%, dan pemilu 2009 sebanyak 7,88%.
3. PPP
Meskipun
PPP telah terbentuk sebelum reformasi, PPP pasca reformasi adalah PPP dengan
esensi yang berbeda. Unsur intervensi pemerintah dihapuskan oleh PPP pasca
reformasi, salah satunya ditandai dengan kembalinya lambang bergambar Ka’bah
sebagai lambang partai. PPP berlandaskan agama, kemanusiaan, keadilan sosial,
kebenaran, dan kejujuran. Tujuan utama PPP adalah mewujudkan masyarakat makmur
secara material maupun spiritual, dan menjunjung multikulturalisme. PPP
memiliki program reformasi internal partai dan pemerintahan. Dalam isu
reformasi internal partai, PPP ingin kembali ke prinsip awalnya, yaitu
menjalankan negara dengan nilai akhlakul karimah. Dalam isu reformasi negara,
PPP menginginkan perbaikan dalam angkatan bersenjata, DPR, dan presiden. Dalam
isu hukum, PPP ingin membenahi konstitusi yang saling berkontradiksi dengan UUD
& Pancasila. Dalam isu politik, PPP menginginkan adanya budaya politik yang
baik dan pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif. Dalam isu ekonomi,
PPP berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap masyarakat, menyediakan
lapangan kerja, menggalakan proyek pembangunan, dan menghapuskan KKN. PPP di
era reformasi memiliki perbedaan tentang basis massa, yaitu tidak lagi
beranggotakan NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Pada pemilu 1999, PPP berhasil
memperoleh 12,26% suara (58 kursi), pemilu 2004 memperoleh 10,4% suara dan
pemilu 2009 5,32% suara.[7]
4. PKB
PKB
terbentuk pada 23 Juli 1998. PKB menjunjung prinsip keagamaan, humanisme,
demokrasi, nasionalisme, dan kedaulatan rakyat. Dukungan PKB terhadap demokrasi
tercermin dalam figur pemimpin PKB, yaitu Abdurrahman Wahid. Dalam isu politik,
PKB berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas KKN.
PKB juga mendukung kebebasan berkumpul dan berserikat, mendukung konsep negara
berlandaskan hukum (resctaat), dan mendukung persamaan gender. PKB memiliki
basis massa dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1999 PKB berhasil
membuat poros oposisi untuk menyaingi kekuatan PDIP dan Golkar sehingga dapat
menghantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Pada pemilu 1999 PKB berhasil
mendulan suara sebanyak 11%, pada pemilu 2004 sebanyak 9,4% dan pada pemilu
2009 sebanyak 4,94%.
5. PAN
PAN terbentuk pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 dengan tokoh
lintas agama sebagai pemimpinnya, beberapa diantaranya adalah Amien Rais
(ketua), Th. Sumartana (non-muslim), dan K. Shindunata (non-muslim). PAN
mengusung program yang anti terhadap sektarianisme dan anti diskriminasi. Dalam
isu ekonomi PAN berkomitmen untuk melawan monopoli ekonomi, menerapkan kebijaan
pro-rakyat miskin, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan
kesejateraan sosial. Dalam isu politik PAN mendukung adanya pembagian kekuasaan
yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. PAN juga mendorong
demokrasi, reformasi, rekonstruksi, desentralisasi, memberantas KKN, dan
kebebasan pers. Sepertiga massa PAN berasal dari organisasi Islam Muhammadiyah,
sisanya terdiri dari para intelektual dan masyarakat dari berbagai agama. Pada
pemilu 1999 PAN memperoleh suara sebanyak 7,4% yang disertai pengangkatan Amien
Rais sebagai ketua MPR, pemilu 2004 sebanyak 9,8%, dan pemilu 2009 sebanyak
6,01%.[8]
[1]
Roby Nurhadi &
Syafrizal Rambe. 1998. “Profil Politik Indonesia
Pasca Orde Baru”Jakarta,2005 h.1-2.
[3] R. Sukma &
C. Joewono (ed.), Islamic Thought and Movements in Contemporary
Indonesia, Centre for Strategic and International Studies, 2007, hal
148-152.
[4] A. Ufen, “From
Aliran to Dealignment: Political Parties in Post-Soeharto Indonesia”, South
East Asia Research, 16, 1.hlm 6.
[5] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja
Grapindo Persada,). Hlm.89-91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar